“Tak semua orang ingin menjadi ahli. Buktinya, tak semua orang mau tekun menempa diri.”
Disebut unggul, lantaran seseorang memiliki sesuatu yang berarti, yang tak dimiliki oleh orang lain. Karenanya lah keunggulan disebut juga dengan advantage, keuntungan. Dari keunggulan, insan mudah dikenali, dan mudah dipilih orang. Kenallah kita dengan Michael Porter, yang konsepnya tentang competitive advantage mengubah cara kerja banyak industri pada masanya. Sebuah perusahaan mesti memiliki keunikan, keunggulan, agar bisa menangguk untung yang lebih besar.
Pertanyaanya kemudian: dari mana datangnya keunggulan?
Jawaban sederhana: dari proses mengunggulkan diri.
Seperti apa itu?
Ya proses yang melebihi atau setidaknya berbeda dari standar kebanyakan. Jika standar yang dipakai sama dengan kebanyakan, maka bukan keunggulan namanya.
Nah, di titik ini, mari berhenti sejenak. Lalu merenung dengan bertanya ke dalam diri.
Adakah diri ini ingin menjadi pribadi yang memiliki keunggulan?
Jawabannya kemungkinan besar adalah: ya.
Bersediakah diri ini menjalani proses yang unggul, yang melebihi standar rerata banyak orang?
Jawabannya, meski mungkin mulai agak berat, adalah juga: ya.
Lalu sekarang, kita turunkan jawaban ini ke bumi.
Sudahkah kita bangun lebih pagi daripada kebanyakan orang? Sebab bangun lebih pagi menandakan persiapan yang lebih baik tersebab waktu bangun yang lebih panjang.
Sudahkah diri ini meluangkan waktu cukup setiap hari untuk mengasah diri dalam bidang yang digeluti? Oleh karena keunggulan tak datang tiba-tiba, melainkan melalui proses panjang nan bertahap. Seorang karateka kenamaan dalam sejarah, pendiri perguruan Kyokushinkai, Masutatsu Oyama pernah berkata, “Seseorang disebut pemula setelah melalui 1000 hari latihan. Seseorang menjadi ahli setelah 10.000 hari latihan.”
Wuih, sepanjang itu kah?
Ya. Menariknya, para ahli tak merasakan, bahkan amat jarang menghitung jumlah yang telah mereka lalui. Mereka sibuk menikmati rutinitas penuh penghayatan sehari-hari. Pasalnya, dalam latihan itu sendiri terkandung banyak kenikmatan. Dalam latihan itu sendiri tersimpan jutaan rahasia yang terbukanya satu demi satu, hari demi hari.
OK, pertanyaan berikutnya.
Sudahkah diri ini mencadangkan dana untuk berinvestasi dalam peningkatan kompetensi? Jika jawabannya, “Menumpang pada budget kantor,” kemungkinan besar nasib kompetensi kita pun bergantung pada kantor. Insan unggul yang kukenal, selalu punya cadangan dana pribadi untuk belajar. Mulai dari beli buku, mengikuti kelas, hingga melakukan perjalanan untuk belajar pada guru.
Tak semua orang kudapati mau melakukan hal ini. Karenanya ku berkesimpulan, tak semua orang ingin menjadi ahli.
Dan kuharap, orang itu bukan kita, bukan kau dan aku.