“Kenikmatan di tujuan, adalah puncak dari kenikmatan di perjalanan.”
“Aku selalu ingat kata mama,” ujar istriku tentang ucapan ibunya, “kalau menggoreng ayam mau dagingnya empuk itu harus pakai api kecil. Memang lebih lama, tapi rasanya lebih enak.”
Ajaran ini selalu dipraktikkan istriku setiap kali memasak. Apalagi, anakku menyukainya. Ia kerap protes ketika digorengkan oleh orang lain—atau memakan katering dari sekolah—yang cenderung terbiasa pakai api besar sehingga ayam menjadi keras. Berkali-kali mendengar hal ini membuatku berpikir, ini rupanya penyebab tiap kali aku memberli ayam goreng di warung, rasanya kurang memuaskan. Karena kuamati memang mereka memasak dengan panas tinggi agar hemat waktu.
Aku pun tertegun satu kali menyadari hal ini. Betapa ini sejatinya merupakan hukum alam. Bahwa setiap hal yang dikerjakan terburu-buru, yang ingin cepat, kerap hanya berujung pada ketidakpuasan. Mungkin ia selesai, mungkin ia menampakkan hasil, namun tidak ada kenikmatan dalam diri.
Kutelusuri, rupanya kenikmatan puncak itu lahir dari proses yang juga diselami. Kita ingin cepat sampai tujuan, padahal sesungguhnya kenikmatan di tujuan itu, adalah puncak dari kenikmatan di perjalanan. Terburu nafsu untuk sampai, tanpa menghayati perjalanan, berarti membangun kebahagiaan yang rapuh.
Mari kembali ke soal masakan. Kita kerap merindu masakan orang tua, bukan semata-mata karena masakan itu sendiri, melainkan lantaran ada banyak kenangan di baliknya. Kenikmatan masakan itu pendek saja, sependek lidah dan waktu mengunyahnya. Selepas makanan melewati kerongkogan, kenikmatan inderawi pun lenyap. Yang tersisa adalah kesenangan dalam ingatan. Kesenangan inilah yang jauh lebih kaya dari sensasi rasa makanan itu sendiri.
Para penikmat makanan, banyak yang amat menghargai cita rasa, sebab mereka memahami sejarahnya. Bukan semata sensasi di lidah itu yang melahirkan sedap, perjalanan panjang disajikannya makanan itu jua lah yang menopang makna-makna dalam tiap gigitan.
Maka nikmatilah perjalananmu, wahai diri, bukan hanya pencapaianmu. Karena pencapaian hanyalah apa yang tampak di luar, sedang kebahagiaan itu terletak di dalam. Kita tak pernah diminta untuk mencapai banyak, tapi kita diminta tuk menjalani dengan baik, tekun, penuh kesungguhan. Itulah berkah, kebaikan di dalam yang bertambah-tambah.