Sejak kecil aku penasaran, mengapa selalu dikatakan bahwa mukjizat terbesar Nabi Muhammad saw ialah Al Qur’an. Maksudku, sebagai anak-anak, ketika mendengar kisah mukjizat Nabi Musa as yang bisa membelah lautan, maka kitab suci menjadi kurang keren. Apatah lagi rupanya setelah membaca kitab karya Syaikh Sa’id Hawwa, Ar Rasul, rupanya Nabi Muhammad saw adalah rasul yang mukjizat fisiknya bisa dibilang paling banyak. Tapi mengapa tetap Al Qur’an yang dikatakan terbesar? Bukan terbelahnya bulan. Bukan mengalirnya terus makanan dari tangan beliau hingga seluruh sahabat yang kelaparan jadi kekenyangan.
Dan jawabannya baru kudapatkan kala 2 tahun belakangan banyak mengikuti ceramah Ustadz Nouman Ali Khan. Beliau yang berlatar belakang bahasa Arab mengungkapkan bagaimana Al Qur’an merupakan karya yang tak mungkin diciptakan manusia, sebab tidak saja susunannya yang Ilahiah, melainkan juga dampaknya yang demikian luas hingga hari akhir kelak.
Ya, mukjizat para nabi memang hebat. Tapi yang bisa melihat, menyaksikan, dan merasakan dampaknya hanyalah umat yang berada di zaman mukjizat itu berada. Kita tak pernah tahu bagaimana leganya Bani Israil ketika lautan terbelah. Hanya mendengar ceritanya tak membuat kita seketika tergugah. Namun Al Qur’an, ia bisa kita rasakan manfaatnya, bahkan ketika Sang Pembawa tak lagi bersama kita.
Namun ada yang berbeda dengan mukjizat ini. Meski ada di depan mata, keajaibannya tak seketika kan terasa. Ia tak lagi gratis serupa umat terdahulu yang cukup membuka mata dan menyaksikan kejadiannya. Ia baru terasa ketika diri ini membuka pikir dan rasa. Itulah sebabnya dalam banyak tempat Dia ajak kita membaca huruf-huruf semata. Yang para ulama tak pernah sanggup membedah maknanya. Sebab ia memang isyarat, sebuah orientasi pikiran dan perasaan, untuk tak tahu apa-apa. Tiap ayat dalam Al Qur’an adalah pembelajaran. Ia mengandung sejarah, tapi bukan kumpulan catatan sejarah. Ia mengandung hukum, tapi bukan kumpulan fatwa-fatwa hukum. Ia mengandung hikmah, tapi bukan rangkuman kutipan hikmah. Ia adalah pembelajaran, pengarah pikiran dan perasaan akan bagaimana sebaiknya menjalani hidup. Diri yang membiarkan diarahkan oleh Al Qur’an akan tahu bagaimana mesti bertindak. Mudah menentukan mana yang benar dan salah.
Sebagaimana ilmu dimulai dari pengetahuan, dan pengetahuan berawal dari pertanyaan, maka dekatilah Al Qur’an dengan pertanyaan. Bukankah tiap saat dalam hidup pikiranmu tak pernah sepi dari pertanyaan, wahai diri? “Mengapa aku? Mengapa ini terjadi? Bagaimana lebih baik? Bagaimana bisa mencapai? Bagaimana memiliki? Apa yang harus kukatakan?” dan sederet pertanyaan lain nan berlintasan dalam pikiran. Ajukan itu pada Al Qur’an. Telusurilah ayat-ayatnya demi mendapatkan jawaban. Maka kan kau temui, keajaiban demi keajaiban, demikian bertebaran.
Inilah kitab yang takkan selesai dikupas. Maka makin ahli takkan menjadikannya habis tuk ditelaah. Namun ia adalah kitab yang telah dimudahkan tuk dipelajari. Itulah janjiNya. Maka tak mesti jadi seorang alim tuk mendapatkan manfaatnya. Bermodalkan kesungguhan dan keikhlasan, Dia kan bukakan jalan pemahaman.