Tujuan dari dipelajarinya sebuah ilmu adalah amal. Terjadinya perubahan perilaku yang diharapkan pula menghasilkan perubahan hasil—meskipun, hasil tak selalu merupakan dampak langsung dari perilaku. Maka sudah selayaknya kita belajar pada seorang guru yang ilmunya tampak pada lelakunya. Mewujud dalam tindakannya. Tercermin dalam tiap langkahnya. Guru yang demikian telah melewati ratusan bahkan ribuan jam praktik hingga sebuah ilmu menjadi bagian dari dirinya. Tak terpisahkan dalam pikir dan geraknya.
Nah, repotnya, ilmu yang telah menjadi bagian dari diri seperti ini tak mudah tuk diajarkan. Seorang guru kan berusaha untuk mengambil jarak dari dirinya, dan sebisa memungkin menstrukturkan apa-apa yang ia lakukan, lalu menuangkannya dalam kata-kata. Sayangnya, sebaik apapun seorang guru bicara, kata-kata tak pernah sama dengan perilaku yang sebenarnya. Jadilah, deskripsi sebuah keahlian hanyalah sebuah ekstraksi dari rangkaian tindakan yang sebenarnya. Belum lagi kita pahami bahwa tiap tindakan didasari oleh pikir dan rasa. Keduanya, jelas kehilangan banyak makna kala dilepaskan dari konteksnya.
Karena itulah, ilmu yang kita pelajari dari seorang guru mesti kita olah sendiri. Terima kata-katanya, simak bagaimana ia mengatakannya, cermati cara-caranya, hingga pahamlah kita dibuatnya. Maka belajar terbaik sebuah ilmu memang belajar pada guru yang dapat kita temui dan membimbing langsung tuk memberikan masukan. Dengan inilah kita kan mendapat pembelajaran nan tuh, bagaimana teori dan praktik menjadi sebuah bangunan keterampilan.
Sempurnakah?
Belum. Sebab bagaimana pun, apa yang guru kita kuasai, tidak akan pernah persis dengan apa yang kita miliki dalam diri. Sebuah ilmu baru, mesti mendapat tempat dalam diri sebelum ia bisa digunakan baik. Padahal, diri ini telah memiliki deretan panjang pemahaman yang tak mudah dikesampingkan. Maka sekali lagi, mengolah ilmu adalah tugas kita. Bukan guru. Ekstraksi keahlian sang guru mesti kita cerna sendiri, tepatkan dengan apa yang kita alami, lalu secara bertahap membangun kebiasaan-kebiasaan baru.
Inilah sebabnya belajar itu selalu memerlukan waktu. Kita hidup dalam sistem. Kita sendiri pun adalah sistem. Sesuatu yang baru masuk dalam sebuah sistem perlu menemukan celah untuk dapat meresap perlahan, hingga akhirnya nanti mampu menjadi bagian. Memaksakan perubahan hanya akan merusak sistem atau menciptakan perlawanan.
Sulit?
Tentu. Sesuatu yang mudah kadang tak begitu berharga. Sedang ia yang diperjuangkan kan tak mudah tuk dilupakan.
Ada yang menarik dari proses ini. Setiap ilmu yang menjadi bagian dari diri seseorang, takkan keluar sebagai sesuatu yang sama lagi. Maka ilmu yang dipelajari dari guru kita, adalah ilmu yang beliau pelajari dari gurunya, diperkaya dengan pengalamannya. Begitu pula ilmu yang telah melewati diri kita, ialah ilmu yang diperkaya dengan perjalanan keunikan yang tak pernah sama.
Bukankah ini menarik?