Simpulan yang sementara ini ku dapat saat membaca The Language Instinct garapan Stephen Pinker adalah: pikiran dibentuk oleh bahasa yang kita gunakan. Bahasa itu sendiri bentukan manusia. Pinker berargumen bahwa keahlian pembentukan itu instingtif. Ia ada sejak manusia dilahirkan sebagai bagian dari kebutuhan dasar hidupnya. Buktinya, anak tak pernah mengikuti kursus bahasa untuk dapat berbicara. Nah, rupa-rupanya, pada saat yang sama, bahasa yang dibentuk dan digunakan sehari-hari kan membentuk pikiran kita pula. Pikiran kita demikian cair, sehingga bagaimana ia digunakan kan membentuknya.
Di titik ini, aku pun merenung, bahwa sejatinya proses belajar adalah proses membentuk pikiran. Pikiran yang lama dibentuk menjadi sesuatu yang baru.
Mari kita tengok. Bukankah kita pasti belajar melalui media bahasa? Baik belajar dalam bentuk mendengar kuliah, membaca, maupun berlatih sebuah keterampilan, bahasa adalah media yang pasti kita gunakan. Sebab ilmu yang asli ada dalam perilaku, agar bisa diajarkan ia mesti dikemas dalam bentuk yang memungkinkan untuk ditransfer pada orang lain: bahasa.
Dari sini, bisa dikatakan bahwa belajar adalah proses menyusun ulang pikiran yang kita miliki agar memiliki konfigurasi yang tepat untuk memunculkan tindakan yang kita harapkan. Maka ketika tindakan yang diinginkan belum lagi muncul dengan sempurna, kita perlu meninjau ulang konfigurasi pikiran yang dipelajari, dan karenanya meninjau ulang pula cara sebuah ilmu disampaikan melalui media bahasa.
Nah, lalu mengapa pula artikel ini bertajuk belajar dan pembersihan diri? Bagian belajarnya telah kita bahas. Bagaimana dengan pembersihan diri?
Begini.
Pikiran kita tak pernah kosong. Ketika kita lahir, sepanjang kita hidup, kita selalu mempelajari sesuatu. Karenanya, kala sebuah ilmu baru disampaikan lewat bahasa dan masuk dalam pikiran, ia tak bisa seketika masuk dengan mudah, sebab telah ada konfigurasi pikiran lama yang lebih dulu ada. Khazanah neurosains mengungkapkan bahwa ingatan kita menggunakan sambungan saraf sebagai perangkat kerasnya. Pada saat sebuah ingatan masuk dalam pikiran, terjadi sambungan antar saraf. Ketika sebuah ingatan diperkuat dengan diulang-ulang, sambungan itu makin kuat. Maka saat ingatan baru masuk, sudah demikian banyak sambungan lama yang perlu disambungkan dengan sambungan baru. Jadilah bagi orang yang sudah merasa tahu dengan sebuah ilmu, tak mudah tuk menerima pemahaman yang baru. Bukan hanya karena abstraksi pengetahuan yang perlu diubah, struktur saraf pun perlu ditata ulang.
Nah, ketika apa yang kita pelajari sesuatu yang bersifat sangat fundamental, yang berada di tataran keyakinan terdalam, atau yang sudah puluhan tahun bertahan di dalam, proses belajar sungguh memerlukan ketekunan. Sebuah ilmu baru tak bisa langsung masuk. Ilmu yang lama mungkin perlu terlebih dulu ‘dibersihkan’. Tentu proses ‘pembersihan’ ini hanya sebuah metafora. Yang terjadi adalah pembenahan ulang, penataan kembali struktur pemahaman agar yang lama dan yang baru berada dalam susunan yang memungkinkan lahirnya tindakan baru yang diharapkan.
Sampai di titik ini ingin kukatakan, aku tak hanya sedang bicara tentang belajar secara formal. Belajar dari pengalaman, dari kehidupan, dari keberhasilan dan kegagalan, memiliki mekanisme ‘pembersihan’ yang sama. Bukankah pernah dalam hidup kita mengalami perubahan persepsi tentang seseorang? Dulu ia menyebalkan, kini menyenangkan. Dulu, kita belajar lewat pengalaman kurang menyenangkan akan dirinya, karenanya kita anggap menyebalkan. Namun karena satu atau beberapa kejadian yang berkebalikan, konfigurasi pemahaman kita terhadapnya berubah. Hilanglah dendam, terbit kasih dan sayang. Sirnalah kesal, terbit syukur.
Maka sebuah nasihat kerap kita dengar, dalam tiap kejadian, sungguh terdapat penyucian.
Bagaimana keterkaitan pembersihan diri dg hidayah..?
Hidayah, yang saya pahami, adalah karunia atas perjuangan.