Jogja sebagai kota pelajar, tentu lah kita telah mendengarnya sejak lama. Tapi yang ku pahami dulu hanyalah bahwa barangkali disebut demikian karena banyaknya sekolah yang berdiri di sana. Mulai dari pendidikan dasar hingga menengah, apatah lagi pendidikan tinggi. Kita akan menemukan banyak asrama dari berbagai daerah disediakan sebab memang mahasiswa datang dari arah mana saja, tak saja dari Indonesia, tapi juga dari penjuru dunia.
Tapi beberapa tahun belakangan ini, ku sadari makna lain dari sebutan kota pelajar ini. Jogja rupanya, tak hanya melahirkan para pelajar—orang yang terdaftar di sebuah lembaga sebagai siswa—tapi juga melahirkan para pembelajar. Tak terhitung seminar diadakan di kota ini. Dan tak seperti daerah-daerah lain, peminatnya pun banyak luar biasa.
Indonesia NLP Society sebagai komunitas pembelajar, telah beberapa kali berusaha mengadakan kegiatan rutin pembelajaran di kota ini. Dan alhamdulillah, sejak beberapa tahun terakhir animonya meningkat luar biasa. Dari sisi kuantitas, juga kualitas. Sebut saja NLP Talks yang lama tak diadakan, lalu berhasil diramaikan kembali. Begitu juga kelas NLP Essentials (nama lama dari Essential Life Course) yang rutin berjalan setidaknya 2 kali dalam setahun. Lalu NLP Conference yang berhasil dihidupkan kembali dengan jumlah peserta yang mengagumkan, padahal hanya didesain sebagai Mini Conference. Dan yang baru terjadi beberapa waktu belakangan ini adalah kelas NLP Coach Certification perdana di luar Jakarta, dengan jumlah peserta terbanyak sejauh ini, dan lulusan terbanyak pula sejauh ini. NLP Practice Group pun, berjalan dengan istiqamah di kota ini.
Jumlah itu menarik. Tapi kualitas jauh lebih menarik. Momen-momen mentoring NLP Coach Certification adalah salah satu buktinya. Setelah menetapkan tanggal 9 Februari sebagai momen kelulusan bersama, beberapa minggu para mentor dan peserta bertemu hampir setiap hari untuk berlatih demi mencapai level kompetensi yang disyaratkan. Tak jarang pertemuan latihan itu berlangsung hingga larut malam, membuat mereka menjadi daftar penghuni terakhir di lokasi.
Lalu tiba lah hari kelulusan bersama itu. Sebuah hari yang, tentunya, dibuat, sebab sejatinya mereka sudah lulus sebelumnya. Tidak ada titik permanen sebuah kelulusan, melainkan kulminasi dari perjalanan belajar dan menumbuhkan diri.
Ya, menumbuhkan diri. Itu hal terpenting yang ku dapatkan, kala merekam momen satu persatu peserta menceritakan kisahnya berlatih. Sebuah simpulan sederhana: ini bukan tentang mendapatkan sertifikasi. Ini adalah tentang menumbuhkan diri. Aku sungguh mencermati diri-diri yang berbeda, kini dibandingkan beberapa bulan lalu.
Maka kami pun, aku tepatnya, tak bisa tak ikut tumbuh jua mengamati mereka dari jauh. Sungguh jauh perjalanan mereka. Betapa banyak waktu yang telah mereka luangkan. Betapa tekun mereka bergerak. Dan betapa akhirnya mereka tak lagi jadi orang yang sama.
Tentu, kelulusan tak pernah menjadi akhir. Sebagaimana ia tak pernah bisa ditetapkan kapan pastinya terjadi. Kelulusan adalah sebuah penanda untuk melanjutkan perjalanan. Justru perjalanan setelah lulus itulah yang kan kembali menumbuhkan kita hingga tak terhingga. Sebab titiknya kita sendiri yang menentukan. Kita yang perlu selalu meluangkan waktu untuk menepi dan merenungi apa yang telah dilalui, lalu lanjut berjalan lagi.
Jogja, telah mengajariku hal ini. Bahwa lawan dari keberhasilan itu, bukan kegagalan. Melainkan berhenti. Sebagian peserta sempat berhenti berlatih. Namun sebab keinginan untuk menjadi kompeten—ini yang kami tekankan melebihi kelulusan—masih terpelihara dalam hati, maka titik bangkit itu menyala lagi. Dan ketika yang telah dipelajari dilatih kembali, ketika kaki berjalan lagi, sampai jua lah kita di tujuan.
Yang terus berjalan, kan sampai jua di tujuan. Demikian nasihat bijak yang telah mengantarkan banyak pejalan.