“Apa yang dilakukan era digital pada kita adalah kedangkalan.”
“Video ayah itu,” ujar anak keduaku, “ada nggak sih yang fun gitu?” Aku tersenyum kecut. Karena memang sebagai youtuber baru perkembangan subscriber-ku bisa jadi dibilang lambat. Selain karena memang ini hobi yang dikerjakan di sela waktu kerja, ia juga berisi konten yang bukan berorientasi pada keseruan.
Komentar anakku itu valid. Itulah yang harus ku lakukan jika aku mau subscriber-ku bertambah. Bayangkan, konten seorang lelaki yang bengong saja selama 2 jam bisa ditonton buanyak orang. Mungkin si pembuat itu iseng belaka. Namun yang menontonnya jelas jauh lebih iseng. Aku masih bisa memahami konten lagu anak-anak yang diulang-ulang hingga jadi berjam-jam, karena itu adalah alat bantu untuk membuat mereka lebih cepat makan atau tidak rewel. Tapi acara nge-prank secara kebangetan itu apalah kira-kira faedahnya? Dan yang model begini jumlah views-nya nggak karu-karuan.
Tapi Youtube ini memang algoritmanya membingungkan. Kalau ku tengok kanalku, maka video yang berpenonton banyak itu belum tentu yang dibuat dengan niat. Videoku yang direkam dengan handycam seadanya beberapa tahun lalu sampai sekarang masih memegang rekor jumlah views paling tinggi. Sementara video yang dibuat dengan rekaman dan editan lebih rapi banyak yang angkanya memprihatinkan. Ada yang direkam dengan HP saat aku sedang mengajar, angle-nya pun begitulah saja adanya, juga masih merupakan penghibur hati yang membuat hobi ini ku lanjutkan.
Adalah Nicholas Carr yang menulis sebuah buku berjudul provokatif, “The Shallow: What the Internet is Doing to Our Brain”. Ia menanyakan sebuah tesis menarik: Sementara kita menikmati karunia besar dari internet, benarkah kita sedang mengorbankan kemampuan kita untuk membaca dan berpikir secara mendalam?
Sungguh pertanyaan ini begitu menggelitik. Sebab entah berapa kali aku sebenarnya diberi masukan seperti komentar anakku di atas. Tidak hanya soal konten vlog. Tapi juga soal tulisan-tulisanku yang tak menarik pembaca dari khalayak ramai. Makanya aku tuh kurang terkenal padahal sudah menulis blog sejak 2006. Hehe..
Tapi alih-alih berpikir untuk menjadi penulis populer—meskipun jelas aku pun jauh dari bisa disebut penulis akademis—poin ini mengajakku berpikir mendalam. Mungkin memang benar yang dituturkan oleh Pak Carr. Mengapa konten prank laris? Mengapa jalan artikel berita clickbite jadi pilhan media-media mainstream? Ya karena internet telah mendangkalkan kemampuan manusia era digital untuk menikmati kedalaman.
Mereka yang berbisnis di internet dikenal sangat customer oriented. Mereka sadar tak bisa membujuk pembeli secara langsung, maka mereka berjibaku untuk memahami bagaimana cara pikiran, perasaan, dan tindakan manusia bekerja. Orang IT kini sangat dekat dengan ilmu psikologi. Mereka memastikan, bahwa setiap produk yang mereka buat adalah produk yang tak sekedar diminati, tapi habit forming. Produk yang membentuk kebiasaan, dan ketika kebiasaan itu telah terbentuk, maka jatuhlah ia dalam perangkap konsumerisme. Yang dibutuhkan dan yang diinginkan dikaburkan dengan kalimat, “You may also like…”, atau “yang membeli produk ini juga membeli…”.
Internet telah menyediakan begitu banyak hal gratis, sehingga kini kita enggan membayar. Padahal segala yang gratis, niscaya kita lah produknya. Seth Stephens dalam Everybody Lies menguraikan bahwa keterampilan dalam big data tidak akan membaca formulir resmi yang kita isi di internet, seperti nama, alamat, nomor HP. Mereka membaca setiap jejak yang kita tinggalkan, dan tak sadar kita tinggalkan: jejak browsing. Itulah jejak yang kita tak mungkin bohong—sementara kita mungkin menggunakan nama alias.
Dari situlah berbagai penawaran disuguhkan dengan cara yang demikian halus. Cara yang membuat kita tak perlu berpikir. Cara yang memanfaatkan kecenderungan heuritstik pada pola pikir Sistem 1 kita—menurut Daniel Kahneman. Pola pikir cepat yang tanpa mikir. Lalu terbentuklah kebiasaan kita untuk berpikir tanpa mikir. Maka sungguh sebagai guru aku amat perlu menambah wawasan bukan soal kedalaman ilmu, melainkan keluasan wawasan, karena para pesertaku terbiasa bertanya, “Ada contohnya? Ada template-nya?” Sesuatu yang harusnya sebagai pembelajar mereka pikirkan sendiri. Bagaimana tidak? La kan teorinya sudah disediakan, masak contohnya minta disediakan juga? Makanannya sudah terhidang, minta dipotongkan, disuapkan, bahkan dikunyahkan juga?
Tapi ini semua hanyalah gejala tampak dari kedangkalan pikiran. Kedangkalan yang merupakan buah dari dilupakannya potensi kita untuk berpikir mendalam. Kita hidup dari potongan-potongan informasi menarik soal kehidupan, hobi, bahkan politik. Potongan-potongan yang di baliknya tersedia ideologi si pembuat narasi. Potongan-potongan itu disiapkan untuk meng-entertain kesukaan kita pada yang dangkal. Namun tanpa sadar kita lupa untuk berpikir mendalam. Merenungkan apa yang benar-benar baik, yang benar-benar tepat. Jadilah sebuah pertanyaan diajukan oleh sekolah pada orang tua: Apakah setuju jika kita bulan Januari nanti kita masuk sekolah lagi? Sebagian langsung menjawab setuju, sebagian tidak. Tanpa berpikir bahwa harusnya ada pertanyaan lebih baik yang lebih dulu diajukan: Jika kita bisa masuk kembali ke sekolah, apa saja yang harusnya kita siapkan? Seperti apa protokolnya? Bagaimana kita menjamin keamanannya? Pertanyaan-pertanyaan mendasar dan mendalam ini tak lebih dulu diajukan—dan dijawab—karena kedangkalan berpikir. Nostalgia pada kemudahan mengajar di masa lalu—yang sebenarnya semu.
“Terus bagaimana dong? Solusinya apa dong?”
Nah ini. Ini pun pertanyaan dangkal. Sebab pemikir mendalam tidak akan buru-buru menanyakan hal ini. Mereka lebih dulu akan merenungkan berbagai fenomena dan mengambil jarak dengan dirinya sendiri. Solusi itu akan hadir sendiri saat kita telah menyadari kondisi yang dialami. Namun kesadaran, adalah buah kedalaman. Ia tak hadir kala kita masih gemar dengan kedangkalan.