“Kota adalah tubuh, apa yang kita lakukan bersama adalah jiwanya.”
Sekian gubernur pernah berjanji untuk menghilangkan macet dari bumi Jakarta. Sebuah janji yang jelas basi karena kota ini telah macet bahkan sejak aku dilahirkan, selalu bertambah, tak pernah menurun. Ia lengang hanya beberapa hari masa liburan lebaran, ketika penduduknya mudik. Dan ketika mereka kembali, seketika kepadatan penduduk bertambah.
Pernah ku celotehkan di Youtube bahwa menurutku, kemacetan bukan soal kepadatan jalan, yang merupakan fungsi dari pertumbuhan jumlah kendaraan dan lebarnya jalan. Itu hanya puncak gunung esnya saja. Di dalam gunung es itu ialah materialisme. Keinginan manusia Indonesia untuk hidup sukses berbasis materi, karenanya mereka mencari tempat yang paling memungkinkan mereka untuk segera mendapatkannya. Ada gula, ada semut, katanya. Jakarta adalah gula, dan penduduknya adalah semut yang berkerumun karena materi ada di sana. Pemilihan gubernur Jakarta seolah pemilihan presiden, padahal kota ini hanyalah serupa desa dibandingkan luasnya wilayah Indonesia ini. Jakarta adalah etalase kemakmuran. Maju itu ya Jakarta. Makanya kota-kota lain pun ikutan menjakartakan diri dengan desain serupa Jakarta, termasuk bahasa gue-lu yang aneh kala diucapkan dengan logat daerah.
Karena itulah, mengatasi kemacetan sebenarnya adalah meninjau ulang materialisme sebagai pandangan hidup. Bahwa hidup ini bukan hanya apa yang bisa diindera. Hidup ini jiwa dan raga. Makmur dan bahagia itu bukan karena apa yang dimiliki di luar diri, melainkan apa yang ada di dalam diri. Kebahagiaan yang berasal dari dalam diri lebih ada dalam kendali. Karenanya, tak perlu berkerumun mencari apa yang hanya ada di Jakarta. Kita bisa mencari dan menciptakannya di rumah kita masing-masing. Jika pun Jakarta tetap ingin mempertahankan prestasinya sebagai inspirasi Indonesia, maka ia selayaknya menginspirasi kehidupan yang baik, yang paripurna.
Seperti apa kah itu?
Mari kita mulai dengan membayangkan dulu, kota seperti apakah yang layak kita hidupi. Kota adalah ruang tempat manusia hidup. Hidup dalam keutuhannya. Sehat tubuhnya. Jernih pikirannya. Harmonis hubungannya. Tenteram jiwanya. Ruang-ruang yang tersedia di kota haruslah memungkinkan keutuhan itu teraktualisasikan.
Bagaimana mungkin tubuh kita sehat jika ruang kota sesak dengan zat yang mematikan? Begitu pula, bagaimana mungkin tubuh kuat jika ruang kota terlalu memanjakan penduduknya sehingga kurang gerak? Bagaimana pula tubuh sehat jika makanan yang menggoda dan banyak tersedia adalah yang menggerogoti usia?
Lalu pikiran. Mungkinkah jernih pikiran penduduk kota yang dipenuhi suara bising, keterburu-buruan? Tak ada ruang berhenti, berpikir, merenung—yang menjadi ciri kegiatan berpikir dengan kedalaman. Seorang pendatang yang baru bekerja biasanya hidup di sebuah kamar kos kecil. Bagaimana kita hendak membuatnya sanggup berpikir jernih jika tak ada ruang lain tempat ia bisa berimajinasi—gratis, tanpa membayar.
Kemudian hubungan. Manusia adalah makhluk sosial. Bukan saja telah banyak pembuktian bahwa hubungan yang baik itu juga menyehatkan tubuh, ia juga memungkinkan pikiran berkembang. Karena apa yang kita pikirkan, saat diutarakan dengan rekan bicara yang baik, kan mendapatkan counter argument yang melengkapi. Di rumah-rumah yang tertutup, di kamar-kamar kos yang sempit, di kantor-kantor yang penuh ambisi materi, adakah kebutuhan keharmonisan hubungan ini mudah terwujud? Untuk menikmati tempat mengobrol yang nyaman, orang harus membayar di mal. Mungkin tak membayar tempatnya, tapi membayar makanannya. Jika pun tak wajib membeli, tapi digoda dengan diskon dan etalase yang menggiurkan. Taman? Yang bagus ada di pusat-pusat kota, di lokasi sekitaran komplek perumahan elit pula. Perlu naik bis beberapa kali untuk bisa sampai ke sana. Itu baru ruang fisiknya. Belum ruang interaksinya. Lapangan badminton di sebuah kampung tak hidup sendiri jika tak dihidupkan dengan berbagai perlombaan. Perlombaan tak berjalan jika penduduknya pergi dini hari (bukan pagi) dan pulang tengah malam (bukan petang).
Terakhir adalah jiwanya. Kegiatan keagamaan memang makin marak. Itu kita syukuri. Namun ia tak bisa berhenti pada kegiatan lahir, ia mesti menyasar batin. Dan ini yang masih jauh. Kenyataan bahwa keramahan penduduk kota ini bergantung pada tip, disiplinnya tergantung pada pengawasan aparat (yang juga mudah lolos jika ada tip), adalah tanda bahwa yang Mahabes itu bukan Tuhan, tapi uang, waktu, pelanggan, pekerjaan. Pekerjaan lebih penting daripada nyawa orang lain, maka dilawanlah arus lalu lintas demi cepat sampai di tempat kerja. Baru kemarin aku mengalami, orang membuka pintu mobilnya dan meninggalkan bekas di pintu mobilku, lalu ucapan pertamanya bukan “Aduh maaf, saya telah merusak mobil Anda” tapi “Aduh maaf, saya buru-buru”. Diri sendiri lebih penting daripada orang lain. Padahal Tuhan menjanjikan kemudahan urusan diri, mereka yang memudahkan urusan orang lain. Maka kota yang menumbuhkan jiwa adalah yang menyediakan ruang-ruang yang memungkinkan orang masuk ke dalam dirinya. Meneliti siapa yang berkuasa di dalam, makhluk seperti dirinya atau kah Tuhannya.
Kota seperti ini, bolehlah kita angankan menjadi kota pasca pandemi. Mumpung lagi sepi. Mungkin ini saatnya menata kota kita kembali. Apa-apa yang hilang dan berkurang, bisa jadi memang tak benar-benar dibutuhkan. Ia lalu bisa dikurangi, dan diganti dengan apa-apa yang lebih diperlukan namun selama ini terabaikan.