“Pemimpin itu lahir dari kita, jadi benihnya pun bermula dari cara kita memilih.”
Setelah ku terbitkan artikel bertajuk “Menata Ulang Kota Kita”, seorang sahabat berkomentar, “Jadi terfikir bahwa sejatinya politik pemerintahan itu untuk melayani peradaban, bukan sekedar menyuburkan panggung perselisihan. Seperti yang saat ini marak dipertontonkan. Politik pemerintahan adalah langkah bersama mencapai apa-apa yang dicita-citakan. Bukan sekedar menunjukkan hanya seorang yang dianggap hebat dan lainnya fana.”
Tajam betul pandangan kawanku ini. Menata ulang kota, yang dalam konteks besar adalah negara, jelas memerlukan kemantapan karakter yang tak tersedia di sembarang. Orang yang, umpamanya, masih berkutat di kebutuhan fisiologis ala Maslow, rasa-rasanya sulit untuk diserahi tanggung jawab mengelola dana triliunan. Yang terjadi ya seperti yang ku tulis di artikel “Korupsi di Masa Pandemi”, 10 ribuan per bungkus pun diembat juga. Hanya 10 ribu itu dikali jutaan orang sehingga jadi miliaran.
Memang ada benarnya Maslow merintis penelitian tentang orang-orang yang telah mencapai tahapan hidup Aktualisasi Diri. Meskipun istilah ini kini kerap dipahami secara sempit—“Aku berpenampilan kece begini demi aktualisasi diri”—namun inti-intinya perlu kita tengok saat kita ingin memberikan amanah guna mengisi posisi-posisi penting di dunia politik.
Jabatan politik itu, nggak ada duitnya. Ya, ia harus demikian. Negara memang akhirnya tahu diri dengan menetapkan gaji yang cukup untuk hidup, namun tak mungkin bisa jadi kaya raya. Mereka yang kaya raya setelah jadi pejabat bisa dikira korupsi. Jadi kalaupun mereka kaya, mereka harus kaya duluan sebelum jadi pejabat. Itu pun sudah sampai pada level kekayaan tak lagi jadi kesenangannya, tak pula jadi kebanggaannya.
Tapi masalah kekayaan ini rupanya kriteria paling kelihatan, namun bukan esensi. Sebab yang nampak sederhana pun kadang hanya dia nya saja, sementara keluarganya kaya raya. Sami mawon. Maka kita perlu kriteria yang lebih hakiki. Dan inilah yang bangsa kita masih seenaknya sendiri. Nggampangke. Pemilik warung yang mau merekruit pegawai saja mungkin lebih serius memilih kandidat daripada warga Indonesia saat pemilu. Cobalah melamar jadi penjaga warung, dan agar diterima kita nyogok pakai duit 100 ribu, dijamin malah diusir dan tak jadi diterima. Tapi warga +62 ini bisa lho, memilih aleg dengan cara seperti ini.
Ya sudah, yang sudah lewat ya sudah. Yang jelas, pandemi ini membukakan mata—seharusnya—pada kualitas kepemimpinan publik kita yang amburadul. Di saat badai lah kemampuan asli pemimpin dipertontonkan. Jadi, mari kita imajinasikan saja pandemi ini berakhir, dan kita telah memiliki sosok para pemimpin yang mampu menata ulang kota dan negara kita. Seperti apa kah kiranya mereka?
Pertama-tama, kompetensinya jelas harus melampaui presiden direktur perusahaan besar dan organisasi nasional mana pun. Lihat saja sosok-sosok presiden direktur itu, dan kita cari yang melebihi mereka. Mengapa? Ya karena sehebat-hebatnya memimpin organisasi besar, masih lebih besar lagi memimpin sebuah kota kecil. Dari jumlah penduduk saja, penduduk kota kecil tetap jauh lebih banyak dari jumlah karyawan organisasi mana pun. Apalagi dari sisi kompleksitas permasalahan. Maka kalau ada kandidat dari pengusaha, atau ormas, kita harus pastikan track record nya terbuka. Bisa diakses publik. Bukan orang karbitan yang datang belakangan. Jika ia hendak dipilih di usia 40an, maka harusnya 20 tahun kisah hidupnya bisa kita akses. Kita wawancarai. Kita telanjangi.
La tapi kan masyarakat awam tidak punya kemampuan untuk meng-assess kandidat seperti ini?
Ya itulah tugas partai politik. Ini yang kedua nih.
Sistem partai politik menurutku masih realistis untuk dipakai, meski nyatanya saat ini amburadul. Bukan salah sistemnya, tapi salah kualitas partainya. Partai politik lah yang kerjanya mengumpulkan kandidat seperti ini. Maka kita sebagai masyarakat, harus jeli pada sistem yang digunakan partai untuk menyeleksi kandidat yang ia ajukan ke publik. Bagaimana mereka direkruit? Bagaimana mereka dikembangkan? Bagaimana mereka diseleksi? Kalau ketahuan ngasal, ya sudah jangan sampai dipilih itu partai. Segera ajukan gugatan agar partai seperti itu ditutup saja. Biarkan mereka bikin ulang dan introspeksi diri. Masak, milih kandidat pejabat publik kok ngasal. Nggak kerja itu namanya. Kalau milih gara-gara populer, itu namanya milih artis untuk ditampilkan di TV.
La tapi kan orang bagus nggak mesti populer? Ya itu tugasmu, partai. Tugasmu mempopulerkan mereka yang kompeten, bukan memoles yang populer agar tampak kompeten. Makanya partai tak bisa hanya kerja saat menjelang pemilihan. Mereka harus kerja tiap hari untuk menjaring orang-orang potensial dari rekam jejaknya. Mereka ‘goda’ mereka dengan uang sebelum dipilih, kalau tergoda ya buang. Jangan digoda pas sudah terpilih.
Maka kita, wahai masyarakat awam, juga jangan santai mendapati partai yang asal kerjanya. Begitu ada 1 kasus korupsi saja, perhatian kita pada mereka harusnya sama seperti pada maskapai penerbangan yang mengalami kecelakaan. Tidak boleh ada kasus, itu targetnya. Lihat bagaimana maskapai itu begitu serius meneliti sebuah kecelakaan hingga menembus lautan untuk mendapatkan kotak hitam. Harus seserius itu. Nah, partai yang santai, yang nggak melakukan penelitian dan mitigasi saat ada kasus korupsi, ya jangan dipilih lagi. Biarkan mereka tutup, merenungi diri dan bikin lagi kalau sudah tahu cara kerja yang lebih baik. Idealnya sih, aturan ini formal. Kalau partai tidak mempresentasikan pada publik action plan mereka untuk menghindari kasus korupsi lagi, maka ia dibekukan. Tidak boleh beroperasi. Dan semua kandidatnya diawasi. Tapi kan, ya tahu sendiri, yang bisa membuat peraturan itu juga masih kawan sendiri. Ya sudah, kita-kita saja yang kerja. Buat suara partai-partai itu nol.
Itu dari sisi antisipasi korupsi. Karena ini yang paling krusial untuk diatasi dulu.
Sisi lain, pilihlah partai yang sanggup menjelaskan bagaimana seorang kandidat dikembangkan, setelah ia direkruit. La fresh graduate saja, saat masuk kerja jadi staf, dilatih dulu, dimentoring dulu. Masak calon anggota legislatif melenggang saja. Apalagi kalau dia belum pernah menjabat. Pasti belum kompeten. Dan mengembangkannya ketika menjabat itu sudah telat. Kembangkan ia saat masih jadi kader. Didik mereka berpikir besar, komprehensif, sekaligus action oriented. Jadi lengkap. Punya visi-misi-strategi jangka panjang, sekaligus kegigihan eksekusi. Ndak bisa hanya salah satu. Karena yang diurus itu bukan jualan online. Yang diurus itu aturan pendidikan yang dampaknya puluhan tahun ke depan. Yang didesain itu infrastruktur yang terpakainya berdekade-dekade. Yang ditanda tangani itu surat keputusan yang beberapa lembar, tapi menentukan nasib jutaan orang. Mustahil ada orang yang mampu mengambil keputusan seperti itu jika mikirnya pendek.
Nah, kompetensi seperti ini jelas kompleks. Tidak sederhana. Maka partai harus punya leadership development journey yang canggih. Sebab yang dididik pun kader-kader yang potensinya sudah tinggi. Bukan orang sembarangan. La kalau nggak punya, ini namanya sudah merencanakan kegagalan, karena gagal merencanakan. Masak milih kepala daerah modal untung-untungan. Partai macam apa itu?
Jadi, mari kita memelekkan mata kita pada politik. Dimulai dari yang paling dekat, memilih partai yang akan kita sumbangkan suara kita kepadanya. Plis jangan asal lagi saudaraku. Jangan milih partai karena kadernya temanmu. Jangan milih partai yang ngasih kamu duit, karena jelas dia akan korupsi untuk balik modal. Jangan milih partai yang bawa-bawa nama bapak orang karena sudah tak ada kehormatan dari cara-cara seperti itu. Pilihlah partai yang punya rencana. Dan rencana itu harus ada di ruang publik. Bisa kita akses. Kalau mereka tidak sediakan, berarti mereka tak layak dipilih, dan karenanya jangan dipilih.
Bagaimana kalau tidak ada partai seperti itu? Ya yang paling mendekati lah. Ini kan imajinasi. Tercapainya mungkin masih di masa anak cucu kita nanti. Tapi imajinasi ini perlu agar pikiran kita punya standar yang tinggi. Jangan silau dengan anak muda yang sukses bikin bisnis lalu kita pilih ia jadi walikota. Tanya dulu, siapa yang ngurus bisnismu kalau kamu ngurusi rakyatmu? Kalau dia jawab kuurus sendiri, jangan pilh, karena walikot kerjaan sampingan. Kalau dia jawab diurus teman dan keluargaku, tanyakan apa jaminannya mereka tak tambah makmur gara-gara jabatanmu. Jawabannya mesti masuk akal. Kalau tak masuk akal, kita cari yang lain.