“Obsesi pada kecepatan, kerap melalaikan kita dari kedalaman.”
Istilah dromologi pertama kali ku baca di buku karya Yasraf Amir Piliang, Dunia yang Berlari. Beliau menuturkan dengan apik kata yang konon diperkenalkan oleh Paul Virilio sebagai sebuah obsesi pada kecepatan. Kehidupan manusia era digital seolah tak pernah lepas dari kata cepat. Kecepatan adalah mata uang baru. Meskipun yang dituju adalah uang, namun uang itu kini datang hanya bagi yang cepat saja.
Namun ada metafora yang menarik soal dromologi ini. Manusia yang hidup di dalam kecepatan rupanya serupa berpacu dalam sirkuit. Pernah lihat balap mobil di sirkuit? Ya, mobil-mobil itu kecepatannya memang ora umum. Kecepatan yang mustahil bisa dicapai di jalanan normal—jalanan Jakarta sebelum pandemi di pagi atau sore hari kerja. Meskipun mesinnya sanggup berlari kencang, mobil balap itu akan terpaksa harus menikmati diserempet motor yang malah misuh-misuh saat ditegur. Belum lagi harus berurusan dengan polisi tidur dan jalanan kota yang berlubang-lubang. Maka hampir pasti mobil balap itu tak ada gunanya di dunia nyata. Rupanya, kehidupan di sirkuit itu memang cepat, amat cepat. Namun ia tak bisa keluar dari jalur yang sudah dipatok itu. Ia bisa cepat, ya hanya di situ-situ saja.
Maka teknologi kini memang memungkinkan kita untuk melakukan dan mendapatkan banyak hal lebih cepat. Sehingga dianggap lebih hemat. Sehingga lebih banyak. Namun jangan-jangan, kecepatan itu tak membuat kita lebih baik. Karena kita berputar-putar di sirkuit yang sama. Hanya sempat berhenti sebentar di pit stop. Itu pun untuk sekedar mengganti ban atau mengisi bensin. Persis seperti manusia era digital yang terpaksa berhenti untuk kebutuhan dasar seperti makan dan mengobati sakit. Seorang pimpinan mengirimi anak buahnya yang sedang karantinia mandiri sebuah laptop—agar ia tetap dapat bekerja.
Padahal, bertahun-tahun lalu ku temukan sebuah hikmah bahwa ‘yang cepat, tak selalu nikmat’. Cobalah makan cepat-cepat. Maka makanan enak itu akan kehilangan kenikmatannya. Atau berbicara cepat-cepat, maka emosi yang merupakan ekspresi jiwa itu takkan terasa. Tidur cepat-cepat? Malah jadi sulit tidur.
Jadilah konon di era ini, manusia kehilangan kedalaman. Penghayatan. Ya, karena penghayatan itu tak bisa diraih dengan kecepatan. Penghayatan, hanya bisa dinikmati melalui ketenangan. Kehidupan telah menyediakan lapisan-lapisan makna yang kerap terabaikan di era ini karena tertutupi oleh kecepatan. Mengapa ada orang yang sanggup jadi pemimpin yang baik padahal tak pernah mendapatkan pendidikan kepemimpinan? Karena mereka puluhan tahun menjadi bawahan dan berganti-ganti pimpinan. Dalam tiap pergantian itu pikirannya terbentuk, terlengkapi dengan pemikiran dan cara memimpin dalam berbagai sisi. Ia tak hanya belajar memimpin, melainkan juga terdidik memimpin. Pimpinan di era sekarang tak mendapatkan pengalaman serupa ini, karena obsesinya pada kecepatan peningkatan karir. Jika pun ia tak menginginkan sebenarnya, tapi perusahaan tempatnya bekerja memaksanya untuk naik dan menjalani peran yang ia belum terdidik. Mengapa? Perusahaannya ingin cepat besar, cepat maju. Lagi-lagi soal kecepatan. Cepat besar, cepat maju, cepat dijual. Sungguh umur perusahaan makin pendek hari-hari ini.
Maka belakangan ini ku amati, kajian-kajian soal ketenangan, mindfulness, tampak marak. Dan ia datang dari Barat sendiri, kiblat kita-kita yang di Timur ini. Padahal Barat mengambil inspirasi soal ketenangan dan ketenteraman ya dari Timur jua. Tidakkah kita menyadari bahwa sebenarnya kita ini sudah kebablasan mengekor mereka? Kegandrungan kita pada ketenteraman ini kan akibat mengikuti mereka yang kelewatan mendewakan kecepatan?
Tapi syukurlah, pandemi ini seolah memborgol kecepatan. Atau setidaknya, memegang tangannya sedikit. Meskipun ingin cepat, ia tak bisa dilakukan. Ingin cepat-cepat membangkitkan kembali ekonomi, malah makin terjebak. Ingin ambil keuntungan dari stok masker, malah ditangkap. Ingin buru-buru bisnis bangkit lagi, tak ambil waktu mencari inovasi, malah tutup sekalian. Ingin cepat-cepat mengambil keuntungan lewat korupsi bansos, malah jadi ketahuan.
Jadi pandemi seolah ingin mengatakan, “Wis tho, manut saja. Nikmati saja tidak relevannya kecepatan. Jalanan lengang itu lho. Coba jalan pelan-pelan. Mikir. Merenung. Nanti dari kanan-kiri-depan-belakang-atas-bawahmu kan muncul ide. Muncul jalan. Makan buru-buru itu malah gizi makananmu nggak bisa tercerna. Cuma hilang lapar sedikit, sisanya jadi ampas. Bahkan jalan itu jangan-jangan ada dalam dirimu sendiri. Ia terkubur selama ini karena obsesimu pada kecepatan. Padahal bibit kan harus ditanam, dipupuk, dirawat, dijaga, agak lama, baru tumbuh dan kemudian berbuah. Kamu paksa cepat-cepat malah hilang itu semua.”