Carilah pahala akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia. Berbuat baiklah kepada orang lain sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sungguh Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan.
Al Qasas: 77
Inilah umat yang disebut sebagai pertengahan. Yang tak ekstrim kanan, tak pula kiri. Dalam setiap masa ia diajar untuk senantiasa menjaga keseimbangan. Tugas awalnya ialah menjadi pengelola di bumi. Karenanya ia selalu ingat akan tempatnya kembali. Maka menjadi umat ini bukanlah semata soal status. Sebab, unik, menjadi umat ini tak perlu mendaftar. Insan yang lahir maka by default ia muslim. Hanya jika ketika ia pernah melencenglah ia perlu mendeklarasikan dirinya kembali. Namun secara hakiki, ia baru menjalankan kemuslimannya, kala telah menjadi diri yang seimbang.
Apakah nan seimbang itu?
“Carilah pahala akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu.”
Mencari pahala adalah dengan amal. Dan beramal adalah dengan apa yang kita punya. Lantaran yang kita punya itulah yang telah Allah anugerahkan pada kita. Itulah yang telah menjadi milik kita, dan karenanya bisa kita pergunakan untuk beramal. Jadilah bersedekah dengan hasil curian atau korupsi, tak masuk dalam kategori ini. Harta, pikiran, waktu, dan segala sumber daya yang sah milik kita lah jalan untuk mencapai akhirat. Dan karena Allah itu akbar, maka ukuran tak jadi masalah bagiNya. Yang tampak kecil di mata manusia, bisa dinilai besar di hadapanNya.
“tetapi janganlah lupakan bagianmu di dunia.”
Meski berkeinginan mendulang pahala di akhirat di satu sisi, kita tak diperintahkan untuk menyengsarakan diri di dunia. Sebab selama hayat di kandung badan, itulah tanda tugas belum selesai. Maka menjaga kehidupan kita agar terus bisa memproduksi kebaikan yang berbuah pahala adalah bagian dari kewajiban. Inilah sisi lain. Inilah wujud umat pertengahan. Mencari pahala untuk akhirat, dan menjaganya tetap demikian. Artinya, menjaga diri tetap hidup agar terus bisa mendulang pahala. Inilah sustainability. Prinsip keberlanjutan.
“Berbuat baiklah kepada orang lain sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu.”
Sebab mencari pahala bagi diri sendiri, kerap kita lupa bahwa pahala kebaikan itu ruangnya ada pada kebutuhan orang lain. Hanya karena kita menyukai makanan manis nan enak, bukan berarti jadi kebaikan jika kita berikan itu pada orang dengan diabetes. Berbuat baik itu hendaklah menggunakan kecerdasan dan perhitungan, sebagaimana Allah berbuat baik pada kita. Tengoklah diri dan sekitar. Segalanya penuh perhitungan, keseimbangan, keindahan. Tepat, pas, elok. Jika pun ada yang tampak buruk, kerap itu karena ulah kita sendiri. Sebab aslinya diciptakan indah. Indah, karena sesuai dengan kebutuhan. Maka berbuat baik pada orang lain, mestilah dengan perencanaan agar tepat sasaran. Lagi-lagi soal keseimbangan. Kita ingin berbuat baik, dengan memastikan perbuatan baik itu benar-benar jadi kebaikan. Jadilah kita teringat bahwa salah satu sedekah yang utama adalah kepada mereka yang membutuhkan, namun tak mengungkapkan. Bahkan jika hanya melihat sekilas, kita tak mengira mereka membutuhkan. Lalu darimana kita tahu kebutuhannya? Dari kedekatan, kepekaan. Ada petunjuk dari caranya bercerita, dari kebiasaannya sehari-hari. Pada mereka lah sedekah itu jadi utama.
“dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sungguh Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan.”
Berbuat baik itu satu sisi. Dan atas nama niat baik, tak jarang manusia terdorong untuk berlebihan, bahkan akhirnya berbuat kerusakan. Bukankah hutan dibabat habis karena manusia ingin membangun perumahan dan perkotaan? Demi kehidupan yang dianggap baik, kerusakan lah yang akhirnya terjadi. Dalam tulisan yang berjudul ‘Di Balik Ramah Pengguna’, ku urai pemikiran bahwa ‘ramah pengguna’, yang niat awalnya menciptakan produk untuk memudahkan pelanggan, pada akhirnya menjadi memuaskan nafsu pelanggan. Ramah pengguna, akhirnya menjadi ramah nafsu. Bukankah online game dimulai dari keinginan untuk melepas penat, namun kini telah melahirkan dampak kecanduan pula?
Lagi-lagi prinsip keseimbangan. Umat pertengahan. Berbuat baik, namun waspadalah pada dampak dari niat baikmu. Sebab kala berlebihan ia kan menjadi kerusakan.