Paradoks Passion dan Sustainability

Dekade ini adalah masa ketika istilah passion diperkenalkan dengan amat gencar. Manusia disadarkan akan potensi dirinya, lalu diajak untuk mengenali potensi itu, dan mengembangkannya. Dalam usaha yang kadang berlebihan, ide ini memicu sebagian orang untuk kemudian berani berpindah pekerjaan hanya karena alasan ‘bukan passion saya’—sementara pada saat yang sama masih kesulitan untuk menjawab pertanyaan, “Lalu memangnya apa passion-mu?” 

Ide ini, bisa dibilang merupakan keturunan dari pemikiran yang meyakini bahwa Tuhan tak pernah menciptakan sesuatu dengan sia-sia. Karenanya, tiap manusia tak mungkin diciptakan dengan standar yang biasa-biasa. Tiap insan ditakdirkan untuk menciptakan perubahan. Ia adalah khalifah. Pemimpin yang memiliki tugas mulia. Menariknya, tugas mulia itu tak pernah didefinisikan seperti apa. Manusia sendiri lah yang harus mencarinya. Dan dalam pencarian dan pendefinisian itu, sayangnya, ia tak bisa lepas dari pola pikir yang mengerumuninya. Dalam konteks passion tadi, paradigma yang berkembang adalah passion itu adalah jenis pekerjaan. Padahal, adakah ia memang demikian? Mungkinkah passion itu rangkaian tindakan, yang sejatinya bisa ditemukan dalam berbagai jenis pekerjaan? Kegemaran membantu orang yang sakit, misalnya, bisa diterjemahkan dalam kerja sebagai dokter maupun perawat. Nah, 2 profesi itu sudah punya jalur panjang untuk ditempuh sebagai profesional. Sekali memilih, sulit untuk berpindah. Jadi, mana kah yang kiranya bisa ditetapkan sebagai passion jika demikian? 

Tapi aku sedang tak ingin membahas soal ini sebenarnya. Sebab pada intinya, pandangan ini baik juga. Bahwa ia mengajarkan pada kita untuk hidup tak asal hidup, kerja tak asal kerja, belajar tak asal belajar. Tiap detik dalam kehidupan, kita pasti menentukan pilihan. Dan pada tiap pilihan, diperlukan kesungguhan. Jadi, pikirkan baik-baik tiap keputusan. Jadilah yang terbaik, jadilah terlihat, tunjukkan pada dunia siapa dirimu. Pasang target di atas rata-rata, lalu wujdukan. Dalam nasihat yang lebih provokatif, buat orang tak bisa bisa hidup tanpamu. Karena dirimu begitu bagus, begitu ahli. So good, they can’t ignore you, meminjam judul buku karya Cal Newport. 

Nah, sementara itu, kehidupan ini perlu dibangun dalam cara pandang yang jangka panjang. Jauh lebih panjang daripada umur rata-rata manusia. Kita tentu tak menginginkan ada sebuah jembatan yang hanya didesain dengan perhitungan 5 tahun akan ambruk. Sebuah jembatan diharapkan bisa bertahan puluhan, bahkan ratusan tahun. Artinya, yang mendesain, membangun, dan memeliharanya, pastilah kelompok orang, bahkan generasi yang berbeda. Jembatan itu tak boleh dikerjakan dan dijaga oleh 1 orang saja. Segenap aktivitas pemeliharaannya, yang tentunya amat kompleks itu, jelas perlu bisa dikerjakan oleh beberapa generasi tim. Tak boleh ada tim yang tak bisa digantikan oleh orang lain. Tak boleh ada tugas yang tak bisa dikerjakan oleh orang lain. Kita tak boleh bergantung pada seorang ahli jembatan. Kita harus menciptakan banyak ahli jembatan yang punya kemampuan sama untuk menjaga keberlangsungan jembatan itu dari waktu ke waktu. 

Maka dalam sudut pandang kepentingan publik seperti jembatan, manusia tak boleh tak bisa digantikan. Ia tak boleh terlalu bagus sehingga kita terlalu bergantung kepadanya. Jika pun ada ahli yang amat ahli, ia harus mampu mentransfer keahliannya pada orang lain, agar setara dengannya. Jadilah kajian bernama knowledge management lahir karena ide ini. Keahlian tak boleh dibiarkan dimiliki oleh individu, ia harus dimiliki oleh organisasi. Mengubah tacit knowledge menjadi explicit knowledge adalah semangatnya. Kita perlu orang untuk belajar dan bekerja dengan sangat baik, passionate, namun kita tak boleh bergantung kepadanya. Ia harus bisa digantikan. Ambil keahliannya, jangan biarkan itu hilang bersama habis usianya. 

Agak kejam? Ya, bisa jadi demikian. Demi keberlangsungan kehidupan. Demi keberlangsungan organisasi. 

Inilah paradoks antara passion dan sustainability. Passion berkata jadilah yang terbaik yang tak bisa digantikan. Sustainability berkata sebaliknya, dirimu harus bisa digantikan. Dan keduanya sama-sama berniat baik: memastikan kehidupan ini terus berjalan. Dan berjalan dengan baik. Sungguh menyedihkan kehidupan yang diisi oleh insan yang tanpa gairah dalam menjalani kerja-kerjanya. Begitu pula sungguh memilukan kehidupan yang selalu terputus sebuah pekerjaan, hanya karena tak ada lagi yang sanggup meneruskan. 

Di titik ini sebuah pertanyaan hadir: lalu bagaimana aku mesti bersikap? Bagaimana aku harus menjadi yang terbaik, hanya untuk mendapat bahwa aku tak pernah bisa, karena aku harus bisa digantikan oleh yang sama baiknya? 

Lama ku renungkan, kiranya inilah sebab ada sebuah nasihat tentang 3 hal yang tak terputus setelah kematian. Ilmu yang bermanfaat. Sedekah jariyah. Anak yang shalih. 

Nasihat ini, mungkin tak sekedar bicara pahala. Ia bicara keseimbangan yang diciptakan oleh paradoks di atas tadi. Fisikmu mungkin akan habis. Tapi amalanmu toh bisa terus mengalir. Fisikmu mungkin bisa digantikan. Namun ilmu yang kau rintis, tak bisa dipungkiri, adalah pijakan berdiri bagi manusia dari generasi ke generasi. Masa kerjamu mungkin terbatasi, tapi penerus yang kau lahirkan demi keberlangsungan kehidupan, adalah caramu untuk tetap menjadi yang terbaik, melalui tubuh mereka. 

Di sinilah ketentraman hadir. Paradoks ini ada demi kita semua. Demi kebaikan orang banyak, namun sekaligus memberi tiap insan ruang eksistensi. Maka berpikirlah panjang, sebab tak ada batas pada pikiranmu. Namun karena menyadari terbatasnya umur fisikmu, jadilah bangunan kokoh yang orang lain akan bisa melanjutkan kembali di atasnya. 

Spread the love

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *