Ini malam lebaran. Dan aku ingin menulis. Aku ingin menulis, karena aku belum bisa tidur, padahal baru saja mengemudi dalam kisaran 10 jam. Ada yang menggelayut dalam pikiranku akhir-akhir ini. Kan ku tuliskan di sini biar ia jadi saksi bagi diriku dan siapapun yang berkenan menyimaknya.
Sebuah peribahasa yang konon berasal dari Afrika pernah berujar, “It takes a village, to raise a child.” Dalam bahasa sederhana, butuh orang sekampung untuk membesarkan seorang anak. Kalau dibalik, maka seorang anak hanya bisa dibesarkan oleh orang sekampung. Konsekuensinya, seorang anak yang tak dibesarkan oleh orang sekampung, tak berkembang sepenuhnya. Konsekuensinya lagi, orang sekampung bertanggung jawab pada perkembangan seorang anak.
Ah, bolak-balik kali pikiranku ini. Tapi kalian paham lah kira-kira maksudnya ya. Yang ku rasakan adalah, ada banyak bagian dari diriku yang tak ku dapat dari kedua orang tuaku. Jadi kemungkinan besar, aku mendapatkannya dari interaksiku bersama orang-orang lain sepanjang hidupku. Kenyataan bahwa aku hanya bisa mengingat hidupku paling jauh di masa TK—itu pun samar-samar dan hanya 1-2 momen—maka ada banyak momen yang ku lupakan, namun pasti telah membekas.
Ya. Bagaimana tidak? Sementara tiap saat otakku bekerja, tubuhku hidup dan bernyawa, merespons tiap orang yang ku jumpa, pastilah mereka telah meninggalkan jejak dalam tiap percakapan. Sadar atau pun tidak. Jadi aku yang sekarang ini adalah interaksi antara apa yang ku susun sendiri dengan referensi-referensi yang ku dapatkan dari sana-sini.
Hmm.. barangkali ini lah mengapa silaturahim adalah sesuatu yang penting untuk dijaga. Sebab sepanjang aku hidup, aku tak tahu aku pernah berhutang budi pada siapa. Sebagian kecil saja yang ku sadari, sebagian besar sungguh hanya meninggalkan jejak memori yang tak bisa ku telusuri. Aku adalah murid dari seseorang yang ia bahkan tak menyadari keberadaannya sebagai guru. Sebagaimana aku pun adalah guru dari seseorang yang ia tak menyadari posisinya sebagai murid.
Bukankah kita kerap terinspirasi dari sepotong kisah hidup seseorang yang tak pernah kita temui? Yang kisahnya pun kerap kita jumpai hanya dikutip oleh orang lain?
Bahkan, bukankah kita sering pula tergerak oleh keteladanan seseorang yang tak bicara pada kita, hanya menunjukkan apa yang ia lakukan? Entah bagaimana tindakannya itu mencerahkan pikiran dan menggugah perasaan, lalu menggerakkan kaki dan tangan?
Dua contoh ini sekiranya cukup menjadi tanda bahwa suka tak suka, kita adalah murid dari seseorang. Dan kenyataan bahwa pada momen itu kita mengambil pembelajaran darinya, tak bisa digantikan. Sebab hanya di momen itulah hidup kita dihadapkan pada pembelajaran darinya. Dia, dan hanya dia, di momen itu, yang telah berjasa. Jika kita mau memotong momen itu—sesuatu yang tak mungkin—namun anggaplah bisa, maka hidup kita takkan pernah sama. Linimasa kehidupan kita akan terputus, dan kita saat ini bukanlah kita. Kita saat ini takkan ada.
Maka adanya fakta bahwa kita pernah mengenal seseorang, kiranya sudah menjadi sebuah alasan yang kokoh untuk setidaknya selalu berusaha untuk menjaga silaturahim kita dengannya. Sebab dalam takdir hidup kita, ada dirinya.
Ya, aku tahu. Tak semua orang menyenangkan untuk dijadikan sahabat atau saudara. Ada yang kenyataannya ada dalam hidup kita, namun kita berharap ia tak pernah ada. Namun bukankah bisa terjadi sebaliknya? Bahwa kita pun sebenarnya ada dalam hidup seseorang, namun tak juga diinginkan? Bukankah kita ini sama? Ada sisi yang orang sukai dan tak sukai?
Di luar itu, menurutku, silaturahim perlu dijaga, sebab kita tak pernah tahu masa depan akan seperti apa. Anggaplah kini kita tak membutuhkannya, siapa yang bisa menjamin kelak kita takkan pernah membutuhkannya? Atau, anggaplah kini kita tak membutuhkannya, jangan-jangan dulu kita membutuhkannya, namun kini kita telah lupa? Jika titik itu dihapus dari kehidupan kita, jangan-jangan kita kini tak ada, dan artinya kita yang nanti pun takkan ada?
Rumit? Ya, memang demikian. Hidup tak selalu sederhana sebagaimana yang kita mau. Bahkan kesederhanaan kemauan kita itu kerap hanya ilusi saja. Hidup kita selalu berjalin erat dengan hidup orang lain. Kita takkan pernah bisa melepasnya meskipun ingin. Sebagaimana kita sebenarnya selalu bergantung pada orang lain, orang lain pun selal bergantung pada kita.
Jadi, benarlah kiranya bahwa membutuhkan orang sekampung untuk membesarkan seorang anak. Bahkan hingga ia dewasa.