Mencari Guru

Ada yang menarik dari pengalamanku di dunia pelatihan dan konsultasi 11 tahun belakangan ini. Sebagian klien, jika tak mau dikatakan sebagian besar, kerap mengeluhkan dampak program pengembangan pada organisasi mereka. Pelatihan, misalnya, menjadi barang mewah yang dibeli hanya jika kondisi sedang berkeluangan. Seperti orang yang kelebihan uang lalu membeli mobil. Mobil bukan kebutuhan utama seperti sandang, pangan, papan. Ia adalah kebutuhan tersier yang dikeluarkan seseorang ketika sandang-pangan-papan telah terpenuhi dengan baik. Begitu pula pelatihan. Kala kondisi buruk, ia dipotong terlebih dahulu. Ia tak diadakan, bahkan secara internal. Dalam kondisi krisis, orang diharapkan lebih keras bekerja, tapi bukan lebih rajin belajar. 

Jadi apa yang dikerjakan? 

Tentu saja apa yang selama ini sudah diketahui. Sebab yang baru akan diketahui sedang tak mungkin diketahui. 

Karena pelatihan adalah barang mewah, maka ia kerap diadakan sambil bermewah-mewah. Ada yang mengadakannya sembari liburan, sehingga pelatihan adalah pengiring liburan. Peserta pun demikian. Mereka menganggap pelatihan itu pelepas kepenatan. Tak heran, pelatih yang dipilih pun adalah mereka yang pandai menghibur. Mereka yang menyenangkan. Kantor tempatku bekerja pun, pernah pada satu masa, mengundang pelatih stand up comedy, untuk mengajari kami melucu, sebab kami kerap dipandang tak lucu. Padahal, karena persoalan pelatihan sebagai kemewahan tadi, kelucuan itu mutlak adanya. 

Lalu banyak klien pun mengeluhkan akan dampak dari pelatihan—atau program pengembangan secara umum. Pelatihan kerap dianggap tak berdampak, atau setidaknya tak segera berdampak. Akhirnya, ia selalu kalah dengan pekerjaan. Peserta diundang, lalu hadir sembari mengerjakan pekerjaan. Peserta diundang, lalu absen karena ada pekerjaan. Peserta diundang, lalu batal karena dipanggil atasan, sebab ada pekerjaan. Pelatihan itu bukan pekerjaan. Sementara penyelenggaranya adalah departemen yang berisi manajer dan staf dengan jabatan resmi. Tapi pelatihan itu bukan pekerjaan. “Maaf, izin dulu nggak ikut sesi ini. Lagi ada pekerjaan,” ujar peserta. 

Bukankah kau, kawan, merasa ada yang aneh di kondisi ini? 

Ya, aku pun demikian. Logika sederhana mengatakan, jika pelatihan bukan pekerjaan, sementara penyelenggaranya adalah departemen yang dibentuk oleh organisasi, digaji dengan tinggi, diberi anggaran tak sedikit, lalu ia apa? Buat apa ada pusdiklat jika pendidikan dan pelatihan adalah sampingan? Jika ia bukan pekerjaan, mengapa tak dihilangkan saja? Jika ia selalu kalah dengan pekerjaan, bukankah mengadakannya adalah kemubaziran? 

Perenunganku sejauh ini sampai pada kesimpulan bahwa kondisi ini hanyalah gejala. Gejala dari sikap kita yang tak tepat pada ilmu. Lebih jauh, ia juga gejala dari sikap yang salah terhadap guru—sang pembawa ilmu. 

Ya, ilmu sejatinya adalah cahaya. Ia penerang kala gelap gulita. Maka orang harus merasakan gelap, baru ia dapat menghargai cahaya. Apakah gelap itu? Ia adalah situasi frustasi karena tak menemukan jawaban apa-apa. Maka ada 2 hal di sini. Pertama, harus ada pertanyaan yang, kedua, memicu kebutuhan untuk mendapatkan jawaban. 

Dari mana datangnya pertanyaan itu? 

Dari permasalahan. Dan permasalahan adalah kesenjangan. Kesenjangan antara apa yang dimiliki dan apa yang diinginkan. Aku menginginkan sesuatu, dan kini belum mendapatkannya. Aku bertanya bagaimana aku bisa mendapakannya, dan belum ku temukan jawabannya. Maka gelaplah pikiranku. Cahayanya adalah ilmu. Dan tentu, aku kan berterima kasih pada sang pembawa cahaya itu—guru. 

Di sinilah masalahnya. Para karyawan yang dikirim pelatihan itu kerap tak menyadari apa masalah yang mereka miliki. Mereka menerima undangan dan menghadirinya dengan keterpaksaan. Jadilah kehadirannya pun tanpa kesadaran. 

Lebih jauh lagi, pelatihan diadakan tanpa analisa terhadap permasalahan. Penyelenggaran tak berangkat dari kebutuhan, tapi dari keinginan. Keinginan untuk sekedar menghabiskan anggaran, misalnya. Maka pelatihan yang seharusnya diisi oleh kegiatan berlatih, dicukupkan pada acara meriah bertabur doorprize hasil menjawab kuis dengan pertanyaan-pertanyaan ringan. 

Menarik untuk dicermati, bahwa era ini adalah era ketika kita hampir tak punya halangan akses pada pengetahuan. Segala ilmu ada dan begitu mudah didapatkan. Beberapa klik, dan jawaban pada hampir semua pertanyaan terhidang di hadapan. Tapi perubahan tak pernah terjadi hanya dengan terhidangnya ilmu. Perubahan dimulai dari kesadaran akan kekurangan. Kesadaran yang mendorong diri tuk mengakuisisi pengetahuan, menghayatinya, dan mulai menggerakkan tindakan. Maka belajar memang menghendaki tercapainya pencerahan. Tapi bukan pencerahan dalam bentuk mulut yang menganga akibat memukaunya pembicara, melainkan terbukanya pikiran dan hati karena menginsafi kekurangan diri. 

“Aku tak tahu, karenanya bimbinglah aku.”

Belajar itu bukan butuh kerendahan hati. Sebab kerendahan hati itu masih menyisakan ego yang merasa tinggi. Belajar itu butuh kesadaran akan besarnya lubang kekurangan diri. Bahwa ada banyak yang tak ku tahu. Pun jika ku tahu belum tentu ku pahami. Pun jika ku pahami belum pula ku jalankan. 

Di titik inilah, cara pandang kita kala mencari guru pun kan berbeda. Kita tak mencari guru karena menariknya. Kita mencari guru yang mampu membimbing pikiran, perasaan, dan tindakan kita. Kita mencari guru yang berkenan menunjukkan lubang-lubang kekurangan dalam diri kita. Kita mencari guru yang kan memerdekakan diri kita dari kemalasan. 

Guru seperti ini kerap tak menarik perhatian. Sebab ia tak suka dengan yang permukaan. Kita perlu membuka pikiran dan hati untuk menemukannya. Sebab kita tak hendak menikmati penampilannya. Kita berharap ajarannya membongkar diri kita yang lama, dan menyusunnya kembali menjadi diri kita yang baru. 

Guru seperti ini sebenarnya bertaburan dalam bentangan sejarah hidup kita. Namun kecenderungan kita tuk kesengsem pada penampilan, kerap melupakannya. 

Spread the love

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *