Bahasa Kita adalah Batasan Dunia Kita

Salah satu keunikan manusia adalah ia merupakan makhluk berbahasa. Bukan berarti hewan tak memiliki bahasa, melainkan manusia punya kemampuan tidak saja menggunakan bahasa, melainkan menciptakan bahasa. Tak perlu kita bicara bahasa yang dimiliki tiap daerah atau bangsa, bahkan di dalam sebuah masyarakat berbahasa yang sebenarnya satu pun, bisa lahir bahasa-bahasa baru. Bahasa gaul, bahasa anak muda, bahasa orang keuangan, bahasa orang ilmu sosial, dan lain sebagainya. Tak heran, sebab kisah Nabi Adam as pun meng-highlight bagaimana Allah pertama-tama mengajarkan pada beliau nama-nama benda. Artinya, pengajaran pertama terhadap manusia adalah bahasa. 

Pada dasarnya, bahasa adalah simbol makna. Perwakilan dari sebuah entitas. Hewan berkaki empat yang gemar berkubang sekaligus kuat digunakan membajak sawah diberi simbol dengan nama kerbau. Saudaranya yang mirip diberi nama sapi. Dengan diberi nama berbeda, kerbau dan sapi menjadi entitas yang berbeda. Namun kala ia dilabeli dengan nama ‘hewan’ saja, ia segera tergabung dengan ayam, kecoa, kelinci. Maka bahasa punya kemampuan membatasi. Ia bisa mempersempit ataupun memperluas makna. 

Saat manusia diberi nama Teddi Prasetya Yuliawan, maka ia menjadi entitas yang terbatasi. Ia tak bisa sebegitu luwesnya mengaku suami dari Hidayah, sebab Hidayah itu istri dari Syamsul Hatta. Teddi itu spesifik suami dari Hijria. Saat Teddi makan pizza, ia tak bisa seenaknya menyebut itu gudeg, sebab gudeg memiliki batasan yang tak beririsan dengan pizza. 

Jadi sebenarnya fungsi bahasa itu membatasi, agar banyak hal mudah dipahami. Saat seseorang diberi nama Teddi, maka ia dibatasi, sehingga mudah diingat kembali. Sungguh pusing seorang guru yang kala ingin memanggil Syamsul, Teddi yang menyahut. Bahasa memberikan konsistensi. Tiap kali disebut Teddi, sosok itulah yang menyahut. Kala ujiannya dikumpulkan, diberi nilai ,dan dikembalikan, sosok itu pula yang kan menerimanya dengan gembira atau kecewa. Tak mungkin Syamsul bahagia dengan nilai jelek Teddi, sebab itu namanya  bahagia di atas penderitaan orang lain. 

Di titik inilah, saya memahami kembali nominalisasi yang dibahas dalam Meta Model oleh NLP. Nominalisasi adalah proses membendakan sebuah proses. Dalam bentuk dasarnya, ia mengubah kata kerja menjadi kata benda. Contohnya, ‘didik’ yang merupakan kata kerja berubah jadi kata benda kala dinominalisasikan menjadi ‘pendidikan’. Dengan diubah jadi kata benda, ia bisa menjadi obyek, bisa disifati. “Pendidikan di Indonesia itu buruk,” misalnya. Sementara itu, dalam bentuk yang lebih luas, saya memahami nominalisasi sebagai pemberian label. Serangkaian proses kerja dalam sebuah perusahaan bisa dinominalisasikan dengan kata ‘pelayanan’, sehingga bisa disifati dengan ‘pelayanan perusahaan itu bagus’. Maka nama Teddi, sebenarnya adalah sebuah nominalisasi pula. Sebab Teddi sejatinya adalah manusia yang multidimensi, kompleks, terus berkembang, dan sebenarnya mungkin saja diberi nama lain. Namun dengan diberi nama Teddi, ia terbatasi. Ia menjadi fiks. Tak lagi bisa beristrikan Hidayah, sebab ia sudah beristrikan Hijria—apalagi Hidayah adalah istri Syamsul. 

Karena itulah, nominalisasi yang tidak memberdayakan, kemudian didenominalisasi dengan menggunakan Meta Model dalam NLP. Didekonstruksi maknanya sehingga terbukalah makna-makna yang diwakilinya. Dengan demikian ia bisa didesain ulang. Kalimat “Saya kan hanya orang berpendidikan rendah” bisa didesain ulang menjadi “Saya memang baru mengenyam pendidikan dasar” sehingga melahirkan kemungkinan baru yang berbeda. 

Maka kata-kata itu bukan ‘cuma’. Ah, cuma kata-kata. Kata-kata juga bukan sekedar omongan tak bermakna. Ah, bisanya cuma ngomong. Sebab kata-kata yang dirangkai menjadi kalimat yang baik sanggup memperluas ataupun mempersempit makna dalam pikiran pendengarnya. Dan makna adalah dunia bagi seseorang. Dalam makna ada kebahagiaan dan kebencian. Dalam makna ada kelapangan dan kesempitan. Kejadian terpeleset yang dimaknai dengan kalimat, “Ah, sial banget hari ini!” tentu berbeda dengan kalimat, “Wah, kurang hati-hati nih aku.” Yang pertama melahirkan penderitaan, yang kedua menghadirkan pembelajaran. 

Mungkin inilah sebabnya banyak ajaran agama selalu berbentuk kata-kata yang dituturkan dalam bentuk kitab suci ataupun kisah turun-temurun. Sebab bahasa yang baik memang mampu membentuk pikiran dan dalam rentang yang panjang membentuk peradaban. Kalimat ‘tiada Tuhan selain Allah’ adalah salah satu kalimat ampuh yang memerdekakan banyak jiwa dan membebaskan dunia dari penjajahan sesama. 

Ya, bahasa kita adalah batasan dunia kita. Karenanya, berbahasalah dengan kesadaran. Telusuri bahasa yang kita gunakan. Selami kedalaman dunia yang diwakilinya, agar kita bertemu dengan makna hakikinya di kedalaman. Benar, dalam bahasa kadang ada penjajahan. Namun kita adalah makhluk yang dikaruniai kemampuan untuk membebaskannya. 

Spread the love

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *