Setidaknya dua orang kawan bercerita. Jelang berangkat liburan akhir tahun kemarin, mereka ditanya oleh pasangannya, “Kita bawa laptop gak nih?” Sebuah pertanyaan yang mungkin tampak biasa saja di masa ini, tapi sesungguhnya aneh di masa lalu.
Ya. Siapa juga yang merasa perlu membawa laptop saat liburan? Tapi itu dulu. Bahkan dulu kala. Kini sungguh berbeda. Setidaknya sejak pandemi, HP dan laptop adalah sahabat tak terpisahkan bagi banyak profesional. Kelengketannya mengalahkan dompet. Aku pun, harus mengakui, membawa laptop saat libur lebaran tahun lalu. Meski saat itu cukup berhasil untuk tak ku gunakan urusan pekerjaan.
“Nggak, yuk,” mereka bersepakat dengan pasangan masing-masing. Jadilah mereka liburan seminggu tanpa laptop. Demikian.
Eh, terus, maksudnya apa? Apa masalahnya dengan itu? Apa cerita serunya?
Tak ada. Aku tidak bermaksud menceritakan keseruan apapun. Aku mengutip dialog singkat itu di tulisan ini karena ia membuatku merenung panjang.
Semenjak pandemi—mungkin sudah terjadi sebelumnya, hanya saja makin parah sejak pandemi—hidup dan kerja memang seolah tak memiliki batasan. Dan kehidupan pribadi adalah hal yang selalu kalah. Ia jarang jadi pemenang, kecuali dimenangkan. Ya, sentral dari kehidupan manusia era ini memang kerja. Sehingga aspek kehidupan lain adalah sesuatu yang harus diperjuangkan. Maka dua orang kawanku tadi, menghadirkan pertanyaan itu pada pasangannya, adalah sebentuk perjuangan mereka untuk benar-benar bisa menikmati liburan. Kehidupan pribadi, liburan, istirahat, adalah hal-hal yang harus direbut dari cengkeraman pekerjaan. Adalah heroik ia yang menggunakan waktunya di luar jam kerja normal untuk bekerja. Adalah pahlawan ia yang hingga isoman dan masuk rumah sakit pun masih menyediakan diri untuk menjawab WA, bahkan mengikuti online meeting. Kita tak memberikan performance appraisal bagus pada ia yang pulang tango, melainkan pada yang memberikan bagian lain dari kehidupannya untuk kesuksesan perusahaan.
Kita sedang ada di masa transisi. Masa kekacauan demarkasi antara kerja dan yang lain. Ya, ‘yang lain’ itu memang akhirnya harus dikelompokkan begitu saja sebagai ‘yang lain’, meski isinya bermacam-macam. Para atasan di kantor itu seolah sekarang memiliki keseluruhan diri karyawannya, bahkan kala mereka sedang berada di bilik-bilik pribadinya. Tak kutemui—atau setidaknya jarang—atasan zaman sekarang yang tak pernah mengirimkan pesan terkait pekerjaan di waktu-waktu privat timnya. Maka pekerjaan memang merenggut hampir semua hal, bahkan ketika orang sedang beribadah. Yang terakhir ini pernah ku temui kala mendengar suara ringtone yang tak henti-henti di masjid kala shalat magrib. Bukankah mudah dipahami bahwa di Indonesia yang mayoritas muslim ini, pada jam shalat maghrib itu, orang yang tak mengangkat telepon kemungkinan sedang shalat? Mengapa tak ditunggu saja? Sedarurat apa keadaannya?
Ya sebab itu. Sebab pekerjaan adalah hal terpenting manusia saat ini. Insan didefinisikan dengan pekerjaannya. Pun jika ia sebenarnya tetap bekerja, namun sedang tak memiliki sebuah judul pekerjaan, ia tak dianggap kerja. Sebaliknya, selama ia memiliki judul pekerjaan, meskipun tak sedang mengerjakan apapun yang berarti, ia tetap dianggap bekerja. Tengok saja kantor yang kembali memberlakukan kerja dari kantor (work from office) sepenuhnya. Yakinkah bahwa produktivitas lebih tinggi? Aku tak yakin. Setidaknya bagi penduduk kota besar seperti Jakarta, waktu tempuh pulang pergi yang bisa mencapai 3-4 jam itu jauh lebih mungkin digunakan untuk aktivitas produktif dibandingkan sekedar perjalanan ke kantor. Tapi kehadiran fisik di kantor, pada jam kantor, seolah merepresentasikan pekerjaan.
Lalu apa? Apa solusi dari persoalan ini?
Aku tak sedang ingin menawarkan solusi. Setidaknya solusi instan. Sebab ini adalah masalah kronis yang tak mudah diurai. Bukan hanya yang berstatus karyawan saja, melainkan para pemiliki bisnis pun tercengkeram situasi yang sama. Pekerjaan telah menyandera keseluruhan hidup mereka, sebagaimana kita. Kita tak memandang bercengkerama dengan keluarga itu pekerjaan. Kita tak melihat menengok saudara dan tetangga itu pekerjaan. Kita tak menilai merenung, merefleksi, berpikir, membaca, itu sebagai pekerjaan.
Padahal, semua itu adalah kerja. Saat kita melakukannya, kita sedang bekerja, mengerjakannya. Dan dari tiap pekerjaan, pasti ada hasilnya. Hanya saja, memang tak semua hasilnya tampak di depan mata. Sementara pekerjaan zaman sekarang, adalah ia yang menghasilkan yang di depan mata. Memasak hanya disebut pekerjaan kala ia menghasilkan uang. Sementara masakan itu setiap hari membangun tubuh dan jiwa seluruh penghuni rumah bertahun-tahun, tak dianggap pekerjaan.
Ya, kita tak sekedar terkungkung oleh pekerjaan. Namun kita terpenjara oleh definisi pekerjaan yang telah dipersempit sedemikian rupa. Hingga yang disebut pekerjaan semata adalah yang segera berujung pada uang.
Di titik ini, ada berita gembira. Karena definisi pekerjaan telah dipersempit, maka pada saat yang sama ia bisa pula diperluas. Bukankah banyak pekerjaan yang lahir belakangan, sementara ia bukan apa-apa beberapa puluh tahun yang lalu? Sekarang ada pekerjaan bernama Youtuber. Saat Youtube baru berdiri, ia bukanlah pekerjaan. Maka, mengapa tak kita ambil alih pendefinisian ini? Mengapa tak kita perluas sendiri apa-apa yang mau kita anggap pekerjaan, sehingga ia menempati ruang kepentingannya? Dengan kata lain, jadikan yang benar-benar penting dan bermakna dalam hidup itu sebagai pekerjaan, sehingga kita kan menjalaninya dan menekuninya sesungguh-sungguh itu.
Sebuah nasihat pernah sampai, “Yang penting itu selalu kita letakkan di depan. Tak pernah di belakang.” Maka kala ia kita kesampingkan atau kebelakangkan, ia tak sedang kita anggap penting. Jika memang yang disebut pekerjaan itu penting, dan karenanya selalu kita kedepankan, maka ‘yang lain’ yang benar-benar penting itu perlu kita masukkan dalam keranjang kepentingan, dan kita letakkan di hadapan. Jika tak sekaligus, maka bisa bergantian. Toh, kita hidup ini sesaat dan sesaat.