Entah apa yang istimewa dari tahun baru. Selain kalender yang berubah, banyak hal praktis sama. Kalau pun baru, ya setiap hari pun baru. Yang kita alami kini tak sama dengan kemarin. Yang kan kita alami besok pun tak sama dengan hari ini. Jadi artinya, setiap hari adalah tahun baru, karena momen perpindahan tahun itu sebenarnya terjadi setiap hari.
Tapi jika direnungkan, sebenarnya tahun baru memang adalah momen yang diciptakan. Sebab manusia adalah makhluk simbol, yang selalu memerlukan ruang untuk menjadi alasan melakukan sesuatu. Tahun baru adalah tahun untuk menyusun target, misalnya. Tentu saja target bisa disusun kapan saja. Jika ingin efisien, target bisa dibuat 10 tahunan sekali. Namun kebanyakan manusia modern menggunakan tahun sebagai potongan yang mungkin dirasa cukup panjang untuk hasil yang signifikan, sekaligus cukup pendek untuk merasakan kemenangan.
Tahun baru adalah waktu evaluasi, adalah momentum lain yang kita ciptakan. Padahal evaluasi jelas bisa dilakukan kapan saja. Banyak orang toh melakukan evaluasi harian, mingguan, bulanan. Namun entah sejak kapan, kita menjadikan satu tahun sebagai momen evaluasi yang cukup signifikan.
Tapi sebenarnya, banyak juga yang memanfaatkan momen tahun baru tak sedalam itu. Melainkan sekedar momen untuk membuat promo. Ya, promo akhir dan awal tahun. Dan entah bagiamana, para pembeli pun tak segan untuk menggunakan tahun baru sebagai momen untuk berbelanja.
Jadi, setidaknya di era ini, tahun baru sebenarnya lebih banyak punya fungsi instrumental. Ia adalah alat untuk mencapai sesuatu. Tapi pada dirinya sendiri tak ada apa-apa, selain ia adalah pergantian hari sebagaimana hari-hari lainnya. Tahun baru hanyalah simbol untuk menggerakkan diri pada sesuatu, yang sebenarnya sudah diinginkan sejak lama. Orang-orang yang suka berkumpul dan beramai-ramai, menemukan tahun baru adalah momennya. Orang yang ingin mengontak kawan lama, mendapati tahun baru adalah waktunya. Orang ingin liburan, menjadikan tahun baru—atau akhir tahun—sebagai alasan.
Jangan salah, kawan, aku bukannya sinis pada tahun baru. Aku hanya ingin mengatakan bahwa tanpa tahun baru pun, banyak hal yang kita ingin lakukan karena memang penting, bisa dilakukan. Tak perlu menunggu tahun baru. Jika hal itu baik pada dirinya, kerjakanlah. Meskipun tentu, kita memang makhluk simbol yang memerlukan ide penaung bernama hari, minggu, tahun. Waktu nan abstrak yang kita hidup di dalamnya ini memang lebih mudah dipahami pergerakannya dengan bantuan perhitungan-perhitungan itu.
Kita hidup dalam ruang. Dan ruang adalah apa yang ada di antara batas-batas. Di antara kini dan nanti ada hidup yang terbentang. Jika tak ada batas nanti, apa yang hendak kita perbuat di antara bentangan itu?
“Jika kita tak menetapkan batas waktu, maka tak ada hal yang akan selesai,” ujar Dave Kelley, pendiri IDEO itu. Ia bicara soal ‘kekacauan kreatif’ dalam proses berinovasi. Jadi sebenarnya, batasan waktu adalah ‘sekedar’ untuk mengatakan sesuatu itu—setidaknya—selesai. Ah, apakah mungkin yang disebut selesai itu hanyalah apa yang terjadi pada satu titik waktu tertentu? Sebab sesuatu hanya bisa dikatakan selesai atau belum selesai, hanya jika ada batasan waktu. Telur yang setengah matang, bisa dikatakan setengah matang, sebab dalam suatu kurun waktu tertentu ia akan matang jika terus dimasak, dan di titik saat ia baru setengah, ia belum selesai sebagai telur-yang-sepenuhnya-matang, namun ia bisa dikatakan selesai sebagai telur-setengah-matang.
Kok jadi melantur. Kan ini tadi bahas tahun baru.
Tidak melantur juga sebenarnya. Intinya, pun jika kita mau menganggap momen tahun baru ini penting, setidaknya beberapa fungsi inilah yang perlu kita ingat. Adanya tahun baru—dan berarti berakhirnya tahun lama—memungkinkan kita untuk menatap sejauh apa kita telah berjalan dalam bentangan waktu yang tak kita tahu akhirnya. Dari sini kita bisa belajar, dan menyelamati diri. Ya, kita, manusia, butuh diselamati. Kita butuh merasa selamat. Kemudian, karena bentangan waktu masih ada di depan, kita perlu memasang kembali batasan baru, agar ada dorongan untuk bergerak dalam ruang baru yang sekali lagi terbentang.
Hingga kapan?
Hingga ruang itu tak tersedia lagi untuk kita. Segala sesuatu ada akhirnya, karena itulah ia bermakna. Dalam kata ‘tak terbatas’ sendiri tetap ada kata ‘batas’.