Puasa: Antara Imanensi dan Transendensi

Puasa itu ibadah yang unik. Allah Swt katakan bahwa ini adalah ibadah khusus bagiNya, dan karenanya Dia sendiri yang kan mengganjarnya. Hitungan pahala puasa itu tak bisa dihitung oleh manusia. Tak seperti shalat yang jika berjamaah ia bernilai 27 kali. Tak pula seperti membaca Qur’an yang dihitung per huruf. 

Pada dasarnya, puasa adalah ibadah tubuh. Ia menahan apa yang jadi kemauan dan kebutuhan tubuh. Dan dalam hal ini, dunia kedokteran telah mengkonfirmasi dampaknya bagi kesehatan. Maka puasa itu ibadah yang pada mulanya adalah untuk kesehatan tubuh. Kita yang berpuasa tak bisa mengelak bahwa kehidupan kita ini imanen. Kita ini di dunia. Kita lapar. Haus. Dan segala yang berhubungan dengan keduanya begitu menggoda. Maka banyak orang lapar mata, hingga membeli hidangan melebihi kapasitas perutnya. Mereka yang serius berpuasa berusaha untuk menahan dorongan tubuh ini. Agar sang tubuh tak merajalela menguasai banyak hal dalam hidupnya. 

Menariknya, ketika berpuasa, dan tubuh ditahan gejolaknya, dimensi diri kita yang lain jadi bisa melampaui apa yang terlihat. Kita bisa memahami hakikat hidup yang tak sekedar makan-minum-seks. Kita jadi mampu meneropong waktu, bagaimana ia selama ini digunakan. Kita jadi bisa menelaah isi pikiran, apa saja nan jadi isinya. Kita jadi bisa menelusuri tiap kata yang meluncur keluar dari lisan, adakah manfaat yang dibawanya. Kita menatap cermin dan melihat sosok diri yang terbentuk hingga kini. 

Tujuan berpuasa adalah menghadirkan karakter takwa. Karakter insan yang berhati-hati, peka pada tiap langkah yang diambilnya. Yang hidup dalam kewaspadaan. Yang bersungguh-sungguh mengisi detik-detik dengan tindakan penuh manfaat. Singkatnya, yang melihat melampaui apa yang tampak oleh matanya. Meneropong surga dan menentukan langkah-langkah yang diperlukan untuk menggapainya. 

Spread the love

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *