Ramadhan dan Kebebasan

Sebagian orang berpikir, bulan Ramadhan adalah bulan yang mengurangi keleluasaan. Maka ada sebuah gurauan yang mengatakan, “Apa makanan yang paling dikangenin selama bulan Ramadhan? Makan siang.” Di antara kenikmatan makan lain yang masih ada, saat sahur dan berbuka, kiranya makan di siang hari—apapun menunya—adalah hal yang dirasa hilang selama Ramadhan. Padahal sebenarnya yang membatalkan puasa—dan karenanya dilarang—hanya 3 hal saja: makan, minum, dan berhubungan seksual. Di luar itu tidak. Mengurangi makna dan pahala mungkin iya, namun selain yang 3 itu tak ada yang membatalkan. 

Tapi benarkah demikian sejatinya maksud dari Ramadhan? Benarkah ia memang ditujukan untuk mengurangi kebebasan manusia? Mari kita telisik lebih lanjut. 

Dipandang dari sudut apa yang tak bisa dilakukan, Ramadhan mungkin tampak demikian. Namun apa yang sebenarnya terjadi di balik terjadinya yang tak bisa dilakukan itu? 

Direnungkan lebih jauh, setiap hal memerlukan ruang dan waktu. Maka ketika ada hal yang biasa dilakukan, dan kini tidak dilakukan, ruang dan waktu itu jadi tersedia. Ada slot yang sebenarnya bisa digunakan untuk hal lain. Untuk apa kah? Untuk apa saja. Bebas. Tawarannya luar biasa. Ibadah wajib dilipatgandakan. Ibadah sunnah diganjar selevel wajib. Itu jika kita meyakininya. Jika tidak, maka ada yang menggunakannya untuk tidur seharian. Nongkrong tanpa tujuan. Gosip ke sana kemari ‘membunuh waktu’. 

Pada intinya, kita justru punya kebebasan untuk memilih. Ramadhan adalah momen untuk mengembalikan kebebasan kita yang selama ini seolah terbelenggu rutinitas. Kita bisa mengevaluasi kebiasaan yang kita miliki, mana yang sebenarnya tak perlu dan harus diubah. Mana yang kita perlukan namun selama ini belum seolah belum menemukan waktunya untuk dikerjakan. 

Ambil contoh sebuah keluhan yang muncul dari beberapa kawan, bahwa meski sebagian organisasi mempercepat waktu pulang kantor, toh kemacetan menjelang berbuka puasa justru makin menggila. Waktu tempuh tak lebih singkat, minimal sama saja dengan biasa, beberapa bahkan lebih lama. Pulang jam 16.00, sampai rumah tetap jam 18.00. Kita seolah tak punya kendali atas situasi itu. 

Tapi benarkah demikian? Bukankah dalam 2 jam itu banyak pilihan bisa dibuat? Kita bisa memilih untuk tertidur di bis atau membaca/mendengarkan Qur’an. Kita bisa memilih untuk menonton video pendek tak berfaedah atau memilih ceramah yang memperdalam ilmu agama. Kita bisa diam saja menatap jalanan atau melakukannya sembari berdzikir. Ruang 2 jam itu tersedia, dan kebebasan kita sedang dilatih olehnya. Adakah kesempatan ini kita manfaatkan atau terlewat begitu saja. 

Ramadhan, sejatinya adalah cermin yang disediakan untuk menelaah kembali seberapa banyak diri ini mendayagunakan kebebasan yang disediakan. Kebebasan, memang selalu menghendaki batasan. Dalam batasan yang sedang ditata ulang oleh Ramadhan, bagaimanakah kebebasan itu hendak kita kalibrasi? 

Spread the love

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *