Sang Guru Telah Pergi

Minggu lalu, 15 Maret 2024, Prof. Djamaluddin Ancok berpulang. Sang Guru telah pergi. Ya, guru. Itu mungkin bisa merangkum semua hal tentang beliau. Aku memang hanya satu dari muridnya yang tak terlalu punya kemewahan untuk dekat. Aku hanyalah murid kebanyakan yang menimba ilmu di tengah keramaian. Namun terkejut ku bukan kepalang, ketika bertahun-tahun setelah lulus, aku bertemu beliau tanpa sengaja, dan dipanggil dengan nama. Mungkin karena pernah jadi fotografer saat pengukuhan profesor dulu. 

Pak Ancok adalah sosok multidimensi. Pakar psikologi sosial, doktor yang pertama di Indonesia. Pakar psikologi industri organisasi, kiprahnya menjadi jalan bagi banyak orang untuk meniti jalannya. Salah satu jejaknya bahkan terpatri dalam dunia Outbound Management Training di Indonesia. Peneliti ahli, yang dalam kelasnya selalu berbahasa membumi, jenaka, baik dalam bahasa Indonesia maupun Inggris. Melampaui itu, beliau pun adalah salah satu perintis kajian Psikologi Islam. Menulis buku tentang itu. Menceramahkan tentang itu. Mendorong tentang itu. Dalam forum keislaman, kita akan mengira beliau adalah seorang ustadz karena kefasihannya mengutip dalil dan mengaitkannya dengan psikologi. 

Di hadapan beliau—yang tentu saja amat jarang ku alami—nyaliku ciut. Sosok besar dengan ilmu melimpah itu, ah, aku hanya menunggu cipratannya saja lah. Ada momen menarik di akhir masa ku kuliah. Kala itu kampus memperingati lustrum. Dan rangkaian acaranya adalah berbagai seminar. Pak Ancok mengisi 3 seminar, dengan 3 target audiens yang berbeda. Aku panitia yang hadir di ketiga seminar itu mendengar jokes beliau yang sama, di 3 audiens itu. Menariknya, jokes itu bisa diceritakan secara kontekstual sesuai pertanyaan audiens. Dan lucunya, aku tetap tertawa geli meski sudah tahu isinya. Momen itu, bertahun-tahun kemudian ku refleksikan, dan melahirkan kesimpulan kecil: jokes adalah alat untuk menekankan poin pembelajaran. Ia sarana, bukan tujuan. Tak perlu ragu menggunakannya kala cocok dengan keadaan. Meski ia tampak jadi pengulangan. 

Diingat-ingat, momen-momen pembelajaran seperti ini kerapkali ku alami justru di luar kelas formal. Guru sejati itu, yang ilmunya telah melewati dirinya, diamnya pun mengajari. Maka ku amati, makin kokoh keguruan seseorang, makin sedikit bicaranya, namun makin bernas maknanya. Seolah ia begitu teliti memilih kata yang paling bisa mewakili makna. Belum lagi paduan ekspresi dan nadanya. Kesemuanya selaras hingga jadi paduan simbol yang mengantarkan makna pada murid yang membuka mata dan hatinya. 

Semoga Allah ampuni beliau. Lapangkan kubur beliau. Terangi jalan beliau. Muliakan beliau. Atas apa-apa yang telah beliau rintis, semoga banyak penerus melanjutkannya dengan kesungguhan. 

Spread the love

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *