Jika sakit didefinisikan sebagai ketiadaan sehat, ketiadaan keadaan yang sempurna, maka ia mengandaikan adanya ruang. Ruang jeda antara kondisi yang seharusnya (sehat) dengan kondisi saat ini (sakit). Sakit flu bermakna jeda antara kondisi hidung meler dan mampet dengan hidung bersih dan lega. Dengan demikian, sakit adalah tanda diri yang tak berada dalam keadaan paripurnanya, dalam kekurangannya, sehingga menghendaki perbaikan agar kembali seperti semula, atau lebih baik.
Maka sakit sejatinya adalah jalan penyempurnaan. Tanpa sakit, kita tak menyadari bahwa kita diberi keutuhan. Sakitlah yang berjasa menunjukkan pada kita hilangnya keutuhan itu. Kala sakit, kita cenderung mengambil jarak dengan kesehatan. Ada kita dalam kondisi sakit di sini, dan ada kita yang sehat di sana. Kita bisa mensyukuri sehat, hanya ketika kita mengalami sakit. Sebab kala sehat, kita ada dalam kondisi sehat itu sendiri, sehingga tak memungkinkan untuk bercermin. Hanya dengan adanya jeda sakit itulah kita dihadapkan pada ketidakparipurnaan. Dalam jeda itu ada ruang perbaikan, pembelajaran, peningkatan. Sehingga pada akhirnya kesembuhan terjadi, yakni kesehatan kembali, ada pengalaman baru yang kita dapatkan. Ada kesadaran akan perilaku baru yang sebaiknya kita ulangi agar kesehatan terus terjaga.
Misalkan, orang sakit darah tinggi. Akibat tumpukan makanan yang mengandung garam berlebihan selama ini. Sakit menyediakan momen untuk mengevaluasi diri, bagaimana selama ini ia mengatur asupan gizi. Dan kala ia memperbaiki dengan—misalnya—mengubah apa yang ia makan, otomatis ia belajar hal baru, membangun kebiasaan baru. Dalam jangka panjang, kebiasaan baru itu menjadi bagian dari dirinya yang lebih baik—yang baru, yang berbeda. Sejauh ia sanggup mempertahankan kebiasaan baru itu, sejauh itu pula ia sejatinya jadi orang yang tak sama lagi.
Kita tentu tak mengharapkan sakit. Saat sakit pun kita berdoa untuk sembuh, agar ia tak berlangsung lama. Namun realitanya sakit tak mungkin kita hindarkan. Sepanjang hayat, ia pasti datang. Tak ada satu pun orang yang hidup bebas dari sakit. Sebab dunia ini bergerak, dan dalam pergerakan itu kita perlu beradaptasi. Adaptasi itu tak mesti berhasil, menyisakan ruang jeda yang menghendaki kita tuk belajar lagi. Dari sakit ke sakit, sesungguhnya kita sedang diminta untuk mengumpulkan pengetahuan demi pengetahuan.
Sakit memang ujian. Dan ujian perlu dituntaskan dengan jawaban. Bagi yang gemar belajar, jawaban itu tersedia. Jika belum lulus, mungkin tersebab diri ini yang kekurangan ilmu. Atau cukup ilmu, namun miskin amal. Untuk itu, sadarilah pula, bahwa kita mungkin butuh guru untuk membimbing.