Pentingnya Menyelam Dalam

Jika ada satu tantangan pembelajaran yang paling krusial untuk diatasi oleh manusia di era ini adalah: kecenderungan kita untuk menggemari ringkasan. Sepuluh tahun lalu, setidaknya, kita masih dimudahkan mencari referensi berupa tautan di situs web yang setidaknya menghendaki kita untuk membaca sendiri artikel yang tersedia. Kini, kecerdasan imitasi telah melangkah lebih jauh untuk meringkaskan semua referensi dalam berbagai tautan itu menjadi satu jawaban yang tampak masuk akal. Ini amat memudahkan. Dan kita sungguh menyukainya, tanpa menyadari bahwa yang namanya akal imitasi itu ya tetap imitasi. Buatan. Bukan yang asli. Ia hanyalah representasi dari pemikiran yang orisinal. Tapi tak pernah menjadi yang orisinal. Ia mengandung imajinasi yang campur aduk dengan judul algoritma. Ia disesuaikan dengan kegemaran kita, tapi mungkin bukan kebutuhan kita. Apalagi, bahkan bagi kesadaran kita, kebutuhan kerap tersembunyi, menunggu untuk disibak.

Lalu apa persoalannya?

Ya itu tadi, kita gemar dengan yang imitasi. Melupakan bahwa yang imitasi itu lahir dari yang orisinal. Yang imitasi selalu merupakan reduksi dari yang orisinal, yang riil. Sementara foto itu sendiri sudah merupakan reduksi dari wajah yang asli, kini foto itu diubah pula menjadi ala ghibli, tapi yang imitasi pula. Foto itu bukan kita. Ia sendiri sudah merupakan reduksi yang cukup signifikan dari diri kita. Ditambah lagi gambar ala ghibli—yang tentu saja juga imitasi—jadilah ia mungkin tinggal merepresentasikan sekadar remahan dari diri kita.

Menariknya, kita puas dengan itu, senang dengan itu, lalu melupakan apa-apa yang asli di baliknya. Sebab memang asli itu akhirnya terpendam dalam, sehingga membutuhkan proses menyelam dalam untuk menemuinya, mengenalinya, apalagi memahaminya. Kita makin tak sabar untuk melakukan itu. Jadilah kini kita penggemar hal-hal yang permukaan, yang tak pernah bersentuhan dengan yang mendalam.

Inilah barangkali salah satu akar dari mengapa kita meragukan kemampuan diri kita sendiri kala kecerdasan imitasi merebak. Pertanyaan yang muncul adalah: apa yang akan tersisa buat kita? Masihkah akan ada pekerjaan untuk kita? Masihkah kita diperlukan jika kelak semua bisa digantikan oleh mesin?
Sekilas, ini pertanyaan-pertanyaan yang konyol. Sebab mana mungkin yang menciptakan digantikan oleh yang diciptakan? Yang imitasi digantikan oleh yang asli?

Tapi pertanyaan-pertanyaan ini muncul mungkin disebabkan keraguan kita pada diri kita sendiri, sebab sudah menyerah pada yang imitasi. Persoalan dengan yang imitasi adalah ia tak mengandung kedalaman makna. Produk tas imitasi tak memuat kesungguhan dari seniman penemunya. Buku bajakan, baik cetak maupun elektronik, makin jauh dari mewakili ketekunan penulisnya. Karena yang imitasi itu selalu lebih murah bahkan kerap gratis, kita pun jadi meremehkan makna-makna yang diwakilinya.

Lalu bagaimana mengatasinya?

Tak bisa tidak, jika kita ingin mengembalikan keutuhan dan keaslian diri, memulihkan kembali keyakinan pada kita yang asli dan bukan imitasi, kita perlu terbiasa menyelam dalam setiap hal. Jangan pernah puas pada apa yang sudah jadi ringkasan. Carilah yang asli. Temukan apa yang ada di balik ringkasan. Buku yang diringkas, apalagi bukan oleh penulisnya, jelas telah menghilangkan tiap kata yang diwakili oleh dinamika batin sang penulis. Dinamika batin itu mulanya diwakili oleh kalimat-kalimat panjang. Itupun kerap tak mencukupi. Eh, lalu diringkas pula. Ya, akhirnya itu serupa dengan menikmati mie instan rasa ayam. Yang nyata hanya mie nya saja. Rasa ayam itu bahkan bukan berasal dari ayam—ia hanyalah racikan kimia yang diserupakan dengan rasa ayam. Kita hanya memakan tipuan yang memuaskan imajinasi kita saja.

Maka di tengah maraknya video pendek, kita justru perlu setidaknya menyimak video panjang. Di tengah banyaknya ringkasan buk, kita justru perlu membaca sendiri teks penuhnya. Di tengah segala pembelajaran yang direkam, kita justru makin butuh untuk hadir di majelis dan bertemu gurunya. Di tengah ucapan selamat hari lahir atau hari raya yang merupakan duplikasi via chat, kita justru perlu meluangkan waktu untuk bertatap muka dan mengucapkan langsung.

Menyelam dalam adalah tantangan pembelajaran kita di masa kini jika tak ingin kehilangan kedangkalan. Sungai yang dangkal, tak lama lagi akan hilang dan menjadi daratan.

Spread the love

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *