Belakangan ini berita terkuaknya kasus korupsi sedang ramai. Dari pagar laut hingga Pertamina, kita geleng-geleng kepala dibuatnya, sebab melibatkan banyak orang yang sebenarnya sudah amat sangat kaya, dengan mengorbankan mereka yang miskin.
Pertanyaan yang muncul dalam benakku adalah bagaimana asal muasal korupsi ini? Bagaimana seseorang (atau sekelompok orang) terlibat, tega, terencana, terorganisir, berusaha mengeruk kekayaan dan berusaha mendapatkan bahkan merampas hak orang lain? Aturan dan sistem yang ada sebenarnya tak longgar juga. Tapi toh selalu ada cara untuk terus menambah kekayaan yang entah digunakan untuk apa dalam hidupnya. Maka kali ini aku ingin memikirkan korupsi bukan dari sudut pandang sistem. Aku ingin membahas dari sudut individu. Sebab individulah yang bisa menjaga diri di dalam sistem yang buruk, apalagi sistem yang baik. Begitu pula individu yang buruk kan selalu memanfaatkan celah di dalam sistem yang baik. Bukan untuk mengatakan sistem tidak penting, melainkan untuk mengajak kita semua menjaga diri dari menjadi si koruptor itu. Ya, jikapun kita tak bisa mencegah orang lain, setidaknya kita pasti bisa mencegah diri sendiri.
Inilah yang mendasari mengapa ku beri judul artikel ini: Batas Hak. Pada setiap kewajiban yang kita kerjakan, kita memiliki hak. Saya membayar satu porsi makanan, makanan itu akan diberikan kepada saya, dan saya berhak menikmatinya. Jika saya mengambil dua porsi padahal hanya membayar satu porsi, maka saya mengambil yang bukan hak saya. Saya bisa membayar sebelum atau sesudah makan, tak jadi soal, namun hak saya tetap sesuai dengan apa yang saya bayar. Ketika saya mengakali pemiliki warung dengan berbagai cara untuk mendapatkan lebih banyak makanan dari yang saya bayar, itu adalah korupsi.
Kesadaran akan hak ini, jika dihayati setiap orang, maka sepertinya akan menghapus—atau setidaknya mengurangi—kasus-kasus korupsi. Dari yang kecil hingga besar. Sebagai pengendara mobil, saya membayar pajak, maka saya berhak memakai jalan sesuai yang disediakan. Saya tidak boleh masuk ke jalur khusus bus, karena itu bukan hak saya. Jalur bus adalah hak dari mereka yang membayar ongkos bus. Jika saya memaksa menggunakan jalur bus—tentunya karena ingin lebih lancar—saya telah mengambil yang bukan hak saya—saya korupsi. Sementara itu, saat saya bekerja sebagai bagian pengadaan, dan tugas saya menyeleksi sebaik mungkin vendor yang terbaik untuk perusahaan tempat saya bekerja, maka saya berhak atas gaji yang tertera di kontrak kerja. Saya tidak berhak menerima pemberian vendor secara pribadi, karena itu bukan hak saya.
Jadi jika dipikir-pikir, batas hak itu jelas. Hitam dan putih. Tak ada abu-abu. Jika pun tampak abu-abu, mungkin manusia yang membuatnya demikian, dengan cara melunturkan garis batasnya.
Namun mengapa rupanya bertindak dalam batas hak ini begitu sulit? Ini yang mesti kita jawab. Mengapa pengendara mobil merasa nyaman mengambil hak orang lain dengan masuk jalur bus? Mengapa yang mengurus dokumen santai saja mengambil hak antrian orang banyak dengan rela membayar petugas agar diproses lebih cepat? Mengapa para pengusaha yang sudah kaya itu, terus saja ingin menguasai lebih banyak, dengan cara yang bisa dibilang merampas hak orang lain? Mengapa dulu kita dengar dana bantuan sosial, yang jelas-jelas untuk mereka yang kesusahan, dikutip pula oleh orang yang nyata-nyata sudah mapan? Apakah memang batas hak itu begitu sulit mereka lihat? Atau mereka melihatnya, tapi pura-pura tidak melihat?
Di titik ini, dugaanku, mungkin memang melihat dan menyadari batas hak itu merupakan sebuah kebiasaan. Ketika ia dibangun sejak lama, dan dijaga, orang terbiasa. Sebaliknya, kala ia dibiarkan abu-abu, diabaikan, tak pernah diluruskan, orang abai saja. Persis seperti jalur sepeda yang tersedia, namun tak dihiraukan para pengendara, sebab toh amat sedikit orang yang terbiasa naik sepeda. Jika jalur sepeda itu penuh oleh pesepeda, dan mereka teguh adanya, mungkin pengendara mobil dan motor kesulitan juga untuk mengambil hak mereka.
Maka melatih diri agar tak korupsi berarti membangun kebiasaan untuk menjalani hidup dalam batas-batas hak. Sadari mana yang menjadi hak kita, dan mana yang bukan. Kenali batasannya, dan berlatihlah untuk hanya meniti dalam batasan itu. Jika tak sengaja melanggar batas, segeralah evaluasi, lalu memperbaiki diri. Sebab sekali terlampaui, dan kita menikmati, batas itu akan kabur, hingga kemudian hilang. Pembenaran akan selalu hadir di pikiran.
Apa yang ada dalam batas hak adalah apa yang baik bagi kita. Apa yang di luar batas, meski tampak indah dan menarik, sejatinya adalah milik orang lain—dan mungkin orang banyak—yang kita tarik ke dalam hidup kita. Cepat atau lambat, mereka yang berhak akan meminta haknya, dan kita harus membayar dengan apa yang ada dalam kehidupan kita.