Ya, empat tahun lalu aku menulis sebuah artikel bertajuk “Perkenalanku dengan Filsafat”. Artikel itu menandai perjalananku belajar filsafat secara formal di STF Driyarkara. Rupa-rupanya, aku tak pernah lagi menulis soal perjalanan belajarku selama di sana, hingga akhirnya aku tahun ini lulus studi S2. Setahun matrikulasi, tiga tahun kuliah, total empat tahun. Lebih lama dari masa studi S1 ku yang hanya tiga tahun delapan bulan. Jadi, harusnya aku lebih merasa sebagai ‘orang filsafat’ daripada ‘orang psikologi’.
Sayangnya, tidak demikian. Hehe.. begini ceritanya.
Ketika minggu lalu aku menjalani ujian komprehensif (ujian lisan seputar beberapa materi pokok selama kuliah), dan sebulan sebelumnya ujian tesis, ada hal unik yang ku alami. Terutama di ujian komprehensif. Aku merasa perjalanan belajarku seperti anti klimaks. Di awal tentu saja tak tahu apa-apa, di tengah mulai tahu sedikit demi sedikit, dan di akhir kembali merasa tidak tahu apa-apa. Ujian tesis membukakan mataku betapa karyaku itu rapuh dan memiliki lubang besar di sana sini. Ujian komprehensif membenturkanku pada kenyataan bahwa aku hanya tahu sedikit sekali, dan sama sekali belum paham dari apa yang sedikit itu. Maka kelulusanku dengan nilai yang ala kadarnya itu (haha!) memang sepertinya lebih merupakan kemurahan hati para penguji yang setidaknya mungkin mengapresiasi usahaku.
Maka ketika beberapa kawan bertanya, “Jadi kamu sudah bisa jadi filsuf sekarang?” Tentu saja jawabannya adalah, “Duh, masih jauh!” Jangankan untuk berpikir mandiri, berpikir dengan meminjam pikiran orang lain pun masih goyang-goyang. Masih kerap ku sadari, aku bahkan salah berpijak. Ku kira itu pijakan miliki seseorang, ternyata ia pijakan milik orang lain.
Tapi jangan salah paham. Ini bukan sebuah pernyataan keputusasaan. Ini adalah pernyataan kesadaran dan ketahudirian. Bahwa memang belajar itu ya seperti itu. Pengalaman ujian memang sepertinya diciptakan bukan saja untuk menilai kelayakan seseorang untuk diluluskan, melainkan juga untuk menyadarkannya bahwa samudera ilmu masih demikian luas, dan karenanya jangan berhenti belajar. Kamu dinilai layak untuk melanjutkan perjalanan belajarmu sendiri.
Karena itulah, baik formal ataupun non formal, filsafat sepertinya masih akan menjadi jalan ninja pembelajaranku. Dengan filsafat, aku kembali bisa mengapresiasi ilmu-ilmu yang selama ini menjenuhkan. Ya, salah satu alasanku akhirnya belajar filsafat kan memang karena jenuh dengan bidang-bidang yang ku geluti sehari-hari. Namun kini, terang filsafat ternyata membuka dimensi-dimensi lain ilmu-ilmu. Manajemen, misalnya, memang bisa dipandang semata ilmu untuk memaksimalkan keuntungan bagi pemiliki modal. Tapi sisi lain, organisasi yang dikelola dengan baik, toh kerap melahirkan manusia unggul yang baik pula karakter dan kompetensinya. Manusia yang sungguh-sungguh, manusia yang melayani, manusia yang gemar belajar, pada kenyataannya banyak lahir dari mekanisme manajemen organisasi yang didesain dengan baik. Psikologi di era ini, bisa ditilik sebagai ilmu yang digunakan oleh industri (lagi-lagi) untuk memanipulasi lahirnya perilaku konsumsi. Sisi lain, ia toh tetap bisa diarahkan pada sebuah upaya untuk memahami manusia agar menjadi versi terbaiknya, dengan menelaah hidupnya, hingga mengambil alih kembali kendali hidupnya.
Semua ini bisa kita kenali kembali ketika saat bertitik pijak pada ilmu praktis, kita tak berhenti di sana, melainkan naik menelaah secara kritis apa-apa yang ada di baliknya (dasar pemikiran, landasan filosofisnya). Setiap ilmu praktis selalu memiliki fondasi filosofis. Hanya saja memang, semakin ilmu dibuat menjadi praktis, semakin ia kerap terlepas dari akar filosofisnya. Tanaman yang lepas dari akarnya tentu lama-kelamaan akan ‘mati’. Bukan ilmu itu menjadi tak berguna, melainkan ia kehilangan asupan gizi dari tanah yang menopangnya, hingga ia mati kehilangan ruhnya.
Jika ada satu hal utama yang ku dapatkan selama empat tahun ini, mungkin inilah dia kesimpulannya. Di tengah kehidupan yang menghendaki apa-apa yang praktis, sadarilah selalu darimana datangnya yang praktis itu. Kita dilahirkan dengan kapasitas berpikir mendalam dan menyeluruh. Jangan mudah menyerah dengan era jawaban cepat dari kecerdasan imitasi. Diri kita, sungguh, diciptakan untuk berpikir mendalam. Jangan sia-siakan bekal itu.