Bercermin

Aku tidak terlalu cocok dengan ibuku. Kami memiliki pola pikir, cara kerja, dan gaya hidup yang hampir bertolak belakang. Sekalipun aku tetap menghargainya, aku hampir tidak pernah bisa bertukar pikiran dengannya. Aku juga tidak terlalu cocok dengan beberapa orang temanku. Cara mereka berbicara, berpikir, dan mengambil tindakan terasa kurang pas bagiku. Sekalipun aku tetap bekerja dengan baik bersama mereka, ide-ide unik kreasi bersama tidak pernah keluar dari hasil pekerjaan kita. Begitu juga dengan beberapa orang lain yang baru saja kukenal. Berbicara dengan mereka sebentar aku merasakan ketidakcocokan antara kami. Umumnya sih berkaitan dengan hal yang sama seperti ketidakcocokanku dengan temanku.

Belakangan sebuah pertanyaan mencuat: mengapa aku merasa tidak cocok dengan seseorang? Mungkinkah karena memang sifat yang berlawanan atau justru karena sifat yang sama? Yang pertama memang masuk akal, tapi yang terakhir justru memiliki probabilitas yang lebih besar untuk membuatku merasa kurang klop dengan orang lain.

Aku kurang cocok dengan ibuku, sebab ia terlalu pesimistis, sehingga seringkali memandang rendah kemampuan diri dan orang lain. Ia juga terlalu takut akan setiap resiko–sekecil apapun resiko itu–sehingga selalu cemas dan melakukan berbagai persiapan yang tidak perlu. Baginya, status quo jauh lebih baik dibandingkan kemajuan yang memiliki resiko. Itulah sebabnya ia tidak pernah mau mengambil keputusan. Sekalipun sangat keras kepala dan kuat bertahan dengan pendapatnya sendiri, ia selalu berusaha meminta pendapat orang lain sehingga bukan ia yang mengambil keputusan. Baru-baru ini kusadari, segala sifat yang tidak kusukai sebenarnya adalah sifatku sendiri. Aku pernah menjadi amat pesimistis (dan kadang kala masih sering muncul), takut pada konsekuensi yang belum pasti, tidak terlalu berani menerima tantangan (meskipun sedang belajar kesana), keras kepala, dan yang pasti cukup lama mengambil keputusan. Aku kurang suka dengan cara berpikir kawanku yang terlalu kaku dan kurang inovatif, sebab aku pun amat ingin menjadi seorang yang luwes dan kreatif sekalipun belum bisa sampai kesana. Aku juga tidak suka dengan beberapa orang yang terlalu sembrono dengan orang yang baru dikenal, karena aku juga memiliki sifat serupa yang sedang ingin kukelola.

Satu pelajaran kemudian menimpa kepalaku: berhati-hatilah dengan kebencianmu, sebab ia sejatinya adalah cara Tuhan untuk mengingatkan kita tentang jalan salah yang sedang kita lalui. Ya, emosi adalah semacam alarm yang akan menyentil telinga untuk selalu waspada. Baik membenci maupun mencintai berlebihan akan membuat kita lupa pada masalah yang harus terselesaikan di baliknya. Tidaklah Tuhan menjadikan benci dan cinta melainkan untuk meminta kita untuk bercermin: sudahkah kita menjadi hamba-Nya yang setia?

Spread the love

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *