Seorang sahabat pernah berucap, “Ketika salah satu indera tidak lagi mampu difungsikan, justru kepekaan menjadi meningkat, mampu merasakan hal-hal yang tidak terlihat.” Sebuah pernyataan yang hebat dan tidak dapat kusangsikan kebenarannya, sebab sahabatku ini memang orang yang luar biasa. Kuasa Tuhan telah mencabut kepekaan penglihatannya. Ia pun tidak lagi melihat dengan matanya, karena Tuhan telah menggantinya dengan kepekaan nurani. Terbukti, sahabat yang kukenal sebagai seorang yang smart dan bersemangat tinggi itu kini memiliki sesuatu yang berbeda: gairah untuk hidup yang mengagumkan. Sebuah penyakit menakutkan–jika memang ingin dianggap demikian–yang bersarang di kepalanya rupanya menyediakan medan perjuangan yang luas. Ia pun menjalani hidup dengan penuh senyuman dan ekspresi yang tidak pernah kulihat dulu. Dijalaninya keseharian dengan semangat belajar tinggi, diselingi beberapa rekan yang datang silih berganti menjadikannya tempat berbagi. Ya, banyak orang begitu mudah mencurahkan isi hati kepadanya sebab telinga dan hatinya memang menjadi lebih peka sekarang.
Sahabatku yang satu ini selayaknya lebih pantas kusebut sebagai guruku. Mengingatnya semalam mengantarkanku pada puasa yang sedang kujalani. Mengapa ditutupnya mata membuat seseorang lebih bisa melihat ke ‘dalam’? “Penglihatan mata hanyalah penglihatan semu dan artifisial,” ujar sebuah suara dari dalam. Itulah sebabnya Tuhan menciptakan mata dengan sebuah penutup, sebab ia memang alat pencari bukti yang sekunder. Tidak seperti telinga yang memang diciptakan demikian terbuka. Mata yang digunakan terlalu banyak menjadikan pemahaman kita cenderung dangkal sebab terlalu banyak bukti yang terlihat justru menyesatkan. Ditutuplah ia dan jernihlah maknanya.
Mirip dengan mata, begitu pulalah yang terjadi pada perut. Mengendalikan kemauan perut untuk diisi sejatinya adalah metode untuk mengajarkan manusia esensi dari hidup yang dijalaninya. Sudah jamak kita tahu bahwa beragam kerja dilakukan manusia, mulai dari yang halal sampai yang haram, tidak lain hanyalah untuk memenuhi kebutuhan seputar perut. Bergurulah pada Tuhan tentang puasa, dan kebutuhan sekitar perut ini akan dipaksa untuk dihentikan. Ketika itulah makna yang sebenarnya akan bermunculan dengan sendirinya.
“Keheningan,” ujar seorang bijak, “datang untuk membukakan kita pintu kejernihan.” Barangkali inilah sebabnya banyak orang mencapai kematang melalui keheningan. Shalat tahajud, meditasi, dan beragam metode perenungan lain umumnya dilakukan pada waktu malam sehingga tampaklah hakikatnya. Demikianlah pula puasa menciptakan keheningan pada perut kita. Dengannya kita dimungkinkan untuk menggapai kejernihan yang dijanjikan: takwa.