Libur lebaran seminggu kemarin menyisakan tawa dan cemas sekaligus padaku. Tawa, sebab selayaknya sebuah perayaan hari besar, lebaran memang penuh dengan canda tawa dan keramaian. Keluargaku lengkap berkumpul tepat sehari sebelum lebaran, berkeliling silaturahim hingga hari ketiga, menikmati Jakarta yang cukup lengang (kecuali setelah shalat Id yang memang macet luar biasa). Pokoknya, tidak satu pun jalan yang kulewati lepas dari gema hari yang sering disebut hari kemenangan itu. Nah, disinilah rasa cemasku muncul: benarkah hari itu adalah hari kemenangan?
Aku pun teringat sebuah riwayat ketika Rasulullah mensabdakan, “Kita baru saja kembali dari peperangan kecil dan akan masuk ke dalam peperangan yang lebih besar.” Sebuah sabda yang diucapkan tak lama setelah menang di sebuah peperangan menjelang bulan Ramadhan ini cukup mengagetkan sahabat yang mendengarnya ketika itu. Perang fisik disebut sebagai peperangan kecil, karena ia jauh lebih terlihat dan kasat mata, sehingga kita bisa mengatur strategi yang jitu untuk menaklukkannya. Sementara perang terhadap dorongan dari diri sendiri menjadi peperangan besar, sebab rasa cinta diri yang abstrak jelas tidak mudah untuk dikendalikan begitu saja. Inilah barangkali yang menjadi alasan mengapa banyak orang menganggap Idul Fitri sebagai hari kemenangan.
Menilik ke dalam diri sendiri, sebuah pertanyaan sinis menyentil telingaku: benarkah aku sudah menang? Mengingat masih ada detik-detik Ramadhan yang belum diisi ibadah yang khusyuk, mengingat perkataanku yang masih menyakitkan kepada seorang kawan, mengingat keenggananku untuk menyeberangkan seorang nenek yang kulihat di pinggir jalan, mengingat semangatku yang justru muncul ketika berangkat untuk membeli baju baru, mengingat berat badanku yang segera naik setelah lebaran, label kemenangan tampaknya masih cukup jauh untuk diraih.
Untunglah, aku termasuk yang selalu meyakini bahwa setiap ritual ibadah adalah metode training dari Tuhan. Selayaknya sebuah pelatihan, ia memang tidak akan menjadikan pesertanya berubah seketika selesai mengikuti semua sesinya. Butuh transfer of training untuk menjadikan keterampilan yang dipelajari agar merefleks dalam perilaku sehari-hari. Demikianlah aku ingin menjadikan 11 bulan mendatang sebagai ajang penggemblengan sekaligus aktualisasi diri yang sesungguhnya.
Ya, sebab hari kemenangan hanya untuk mereka yang mampu mentransformasikan keshalihan spiritualnya menjadi keshalihan sosial yang mumpuni.
Selamat Hari Raya Idul Fitri. Taqabbalallahu minni wa minkum.