Agak ketinggalan zaman, aku baru saja membaca Angel & Demon-nya Dan Brown. Novel pertamanya yang baru ketahuan bagus setelah kehebohan yang dimunculkan ‘adik’-nya si The Da Vinci Code ini ternyata juga luar biasa jenius. Diceritakan bahwa Robert Langdon, sang ahli simbologi yang juga menjadi tokoh utama dalam Da Vinci menerima permintaan untuk mengungkap pembunuhan seorang fisikawan terkenal. Penyelidikannya membawa pada sebuah kelompok Illuminati, kelompok yang telah berusia ratusan tahun, diisi oleh para jenius pecinta ilmu pengetahuan namun dibenci oleh kalangan gereja karena penemuan mereka banyak menjatuhkan doktrin-doktrin yang diajarkan oleh gereja. Penelitian Langdon sekian tahun mengatakan kelompok ini sudah lama punah, namun fakta-fakta yang muncul mengiringi penyelidikannya terhadap pembunuhan sang fisikawan mengatakan sebaliknya. Illuminati masih hidup, bahkan lebih kuat, terselubung, dan memiliki jaringan luar biasa sampai pada level kepala negara.
Petualangan seru pun berlanjut, diiringi dengan sekian banyak pembunuhan terhadap kandidat Paus. Hasil akhirnya, pelayan setia Paus yang baru meninggal, merekayasa semua kejadian tersebut. Mengapa ia melakukannya? Amat unik, ia sama sekali tidak menginginkan kekuasaan. Ia hanyalah seorang pelayan yang taat dan ingin mengembalikan wibawa gereja. Ia tidak rela jika ilmu pengetahuan membuat agama menjadi tidak berarti dengan membuat semua ayatnya logis dan dapat dijangkau oleh nalar. Untuk itulah, ia bangkitkan kembali kelompok yang sudah ratusan tahun dianggap bubar itu dan membangkitkan rasa takut pada orang banyak. “Lihat, ribuan orang berkumpul di sana, duduk bersama dan berdoa,” demikian salah satu kalimat yang diluncurkan oleh sang pelayan ketika perbuatannya terungkap.
Terlepas dari segala kontroversi sang penulis, aku menangkap sesuatu yang menarik dari rencana sang pelayan Paus. Ia menciptakan rasa takut dalam hati banyak orang, agar mereka ingat dan bersatu. Menarik, sebab metode ini memang salah satu yang dianggap oleh orang banyak sebagai metode ampuh untuk memunculkan persatuan. Mulai dari Soeharto yang menciptakan PKI, Amerika menciptakan Al Qaida, sampai kalangan terpelajar (baca: mahasiswa) menciptakan OPSPEK (perploncoan), semua mengangkat tema yang sama: dalam keadaan terdesak orang akan bersatu. Benarkah demikian?
Aku pernah menganggapnya benar. Ketika SMA, aku pernah menjadi bagian dari pelatihan kepemimpinan OSIS yang menggunakan fear management seperti ini. Hanya saja, belakangan aku pelajari pengalaman itu, ada satu hal yang rupanya lupa untuk dikaji oleh mereka yang menerapkan metode ini: kualitas kesatuan yang diciptakan.
Benar bahwa ketika kita kepepet, akan ada shortcut yang membuat banyak informasi dalam otak mencari segala kemungkinan pemecahan dengan lebih cepat. Bahkan, situasi kepepet ini mampu membuat seseorang mampu memanjat sebuah tembok tinggi ketika sedang dikejar anjing. Masalahnya, keadaan mendesak hanya akan menggunakan informasi yang sudah tersedia dalam otak kita, termasuk potensi fisik yang kuat. Jadilah pola pikir primitif ini sama sekali tidak dapat bekerja untuk memunculkan hasil kreatif yang hanya bisa muncul ketika otak berada dalam kondisi relaks, yaitu ketika gelombang alfa-nya bekerja. Keputusan kreatif membutuhkan tidak saja informasi yang sudah ada tapi juga informasi yang belum didapat bahkan belum ada. Jelas, imajinasi dibutuhkan disini, sesuatu yang tidak akan muncul ketika seseorang sedang dikejar anjing. So, yakinlah sekelompok orang dapat survive dalam kondisi kritis yang mendesak, tapi di saat lain mereka tidak akan menghasilkan inovasi apapun dalam keadaan yang sama.
Sayangnya, metode inilah yang populer baik di kalangan praktisi maupun akademisi. Sebuah PR besar menanti: menjadikan pola pikir kreatif ini minimal sejajar dengan pola pikir primitif. Pilihan pun muncul, menjadi bangsa survival atau inovator? Aku yakin kita menginginkan keduanya, survanovator. Tangguh saat keadaan mendesak, cerdas saat keadaan berubah. Hanya, saat ini memang masih pincang sebelah.