The map is not the territory. Peta bukanlah wilayah yang sebenarnya.
Presuposisi yang satu ini adalah senjata ampuh bagi praktisi NLP terutama untuk menerangkan bagaimana setiap manusia memiliki keunikan tersendiri karena setiap manusia menggunakan model dunianya masing-masing.
Saya sendiri berpikir presuposisi ini adalah titik kunci pembeda NLP dengan yang lain. Karena itulah yang mendasari proses modeling yang adalah merupakan jantung dari NLP.
Berdasarkan ide ini, saya pun mulai memahami keunikan NLP sebagai sebuah disiplin ilmu. NLP adalah modeling. Kata modeling, dapat diartikan sebagai proses memodel. Maka ia bukanlah benda mati, ia justru suatu proses yang dinamis.
Modeling? Masak sih? Bukannya pakai beberapa teknik saja sudah cukup untuk membantu orang?
Nah, disitu masalahnya. Saya menemukan NLP jadi agak mandul ketika hanya dipandang sebagai teknik. Ada trauma atau fobia, pakai phobia cure. Ada kebiasaan yang tidak diinginkan, pakai six steps. Ada emosi negatif, pakai timeline. Dan seterusnya.
Percayalah kepada saya. Gunakan NLP dengan cara seperti itu, maka tingkat keberhasilan Anda akan kecil sekali.
Lalu, bagaimana donk?
Ya modeling itu tadi. Awalilah sebuah proses intervensi dengan memodel model dunia yang ingin kita intervensi. Bagaimana ia bekerja? Bagaimana strateginya? Apa yang ia yakini? Bagaimana sistem yang berjalan? Dan, ini berlaku baik untuk individu maupun organisasi, lho.
Dari sinilah, kita memiliki 2 pilihan: menggunakan teknik yang sudah ada di katalog kita atau menyusun teknik baru yang lebih pas. Keduanya bisa digabung kok. Karena Bandler dan Grinder pernah mengatakan bahwa mereka menciptakan teknik dalam bentuk step by step sebenarnya hanya untuk keperluan seminar sehingga mudah mengajarkannya. Namun di lapangan, semuanya sangat tergantung pada situasi dan kondisi. Bukankah kita menggunakan NLP bukan untuk membuktikan ia benar atau salah, melainkan untuk melakukan perubahan yang efektif?
Menggunakan model ini, kita akan diajak untuk menyelami model dunia orang lain, dan karenanya kemungkinan untuk gagal pun mengecil.
Di titik ini, saya kemudian teringat beberapa kejadian lain yang saya amati terjadi pada teman-teman yang mempelajari NLP. The map is not the territory seringkali justru dijadikan sebagai pembenaran tentang model dunia mereka, alih-alih sebuah dasar untuk memahami model dunia orang lain. Maka ketika orang lain tidak mampu menjalani proses intervensi yang ia tawarkan, jadilah orang tersebut yang disalahkan karena begitu kaku dengan model dunianya.
Well, namun pada akhirnya, saya merasa itu semua adalah umpan balik bagi saya dan kita semua, para praktisi NLP. Tidak bisa tidak, NLP adalah sebuah metode yang baru bisa jalan ketika kita praktikkan kepada diri sendiri dulu. Anda akan bisa membantu seseorang berubah ketika Anda bantu ia untuk mengubah model dunianya. Anda baru bisa membantu ia mengubah model dunianya hanya ketika Anda memahami model dunianya. Dan Anda baru bisa memahami model dunianya ketika Anda simpan untuk sementara model dunia Anda.
Hmm…saya masih yakin akan ciri-ciri yang menurut saya tepat untuk dijadikan patokan apakah seseorang adalah Praktisi NLP. Sederhana saja, apa yang orang lain rasakan ketika mereka berbicara dengan sang Praktisi NLP? Karena semestinya, Praktisi NLP adalah orang yang paling membuat orang lain merasa begitu dipahami.