Krisis ekonomi global. Nilai rupiah menurun. Dolar semakin tinggi. IHSG menakutkan. Ekspor menurun. Budget dipotong. Karyawan dikurangi.
Para presiden pusing. Para menteri pening. Para pialang kriting.
Jika Anda sama dengan saya, maka kata-kata di atas adalah kata-kata favorit berbagai media beberapa minggu belakangan. Sampai-sampai, saya menemukan sebuah lelucon yang menceritakan seorang anak yang mengatakan bahwa ayahnya bekerja di klub gay, alih-alih jujur mengakui bahwa sebenarnya sang ayah bekerja di Lehmann Brothers!
Sisi lain, saya cukup terkejut karena kakak ipar saya tiba-tiba sering mengajak kami berjalan-jalan dan mentraktir di akhir pekan. Usut punya usut, rupanya ia digaji dengan dolar, sehingga pundi-pundinya tentu terisi dengan lebih penuh dari biasanya.
Saya pun putar otak agar berita-berita tersebut tidak meracuni pikiran dan perasaan saya. Toh, tidak ada yang bisa kita lakukan, kecuali melakukan yang terbaik dalam tanggung jawab kita, bukan? Untunglah, sebuah tulisan menarik saya temukan pagi ini. Judulnya adalah ”Aji Mumpung Yuk!” Berikut ini saya uraikan hal-hal yang menarik diuraikan oleh sang penulis, Sony Wibisono.
Mumpung dalam Bahasa Indonesia berarti ’kebetulan’. Atau jika ditelaah lagi, ia bisa berarti ’saat masih ada kesempatan’. Maka mumpung ada uang berari ’kebetulan ada uang’ atau ’saat masih memiliki uang’. Mumpung masih muda? Ya, saat masih berusia muda.
Memang, seringkali kata mumpung ini menjadi memiliki konotasi negatif ketika disandangkan dengan kata ’aji’ sehingga menjadi ’aji mumpung’. Apalagi jika sudah dikaitkan dengan dengan status pejabat, artis, dll, kata aji mumpung seolah-olah menjadikan sang pelaku seseorang dengan kehinaan yang tiada tara.
Apakah memang demikian artinya?
Hmm…tidak juga menurut saya. Mari kita simak contoh kalimat ’mumpung masing muda, maka belajar dan bekerja keraslah’. Baik, bukan? Atau, ’mumpung sedang banyak uang, maka perbanyaklah menabung dan bersedekah’. Bukankah mulia jadinya?
Nah, telusur punya telusur, saya justru semakin menemukan bahwa kata mumpung ini menarik, sebab ia memaksa kita untuk berorientasi solusi, terutama jika disandingkan dengan hal-hal yang terkesan negatif. Coba kita lengkapi kalimat berikut.
Mumpung harga lagi mahal, …
Mumpung perusahaan sedang berhemat, …
Mumpung rupiah sedang turun, …
Kalau Anda sama dengan saya, maka jawaban yang muncul adalah:
Mumpung harga lagi mahal, maka saatnya berhenti yang tidak perlu.
Mumpung perusahaan sedang berhemat, maka saatnya berpikir lebih kreatif untuk bekerja lebih efisien agar perusahaan tetap untung.
Mumpung rupiah sedang turun, maka saatnya membeli barang produksi dalam negeri, kan efeknya buat kebaikan kita juga.
Menarik, bukan?
Nah, saya jadi penasaran. Jika saya tuliskan: Mumpung lagi krisis, …
Kalimat positif apa kah yang akan Anda tuliskan?