Oleh: Teddi Prasetya Yuliawan
Saya teringat “Pak Ogah” yang dulu sering mengatur lalu lintas di salah satu pertigaan menuju rumah. Kami sering menyebutnya “Si Makasih”, karena ia punya logat yang khas setiap kali mengucapkan kata “Makasih” saat diberi uang. Selama bertahun-tahun, ia begitu konsisten mengatur lalu lintas, dan saya tak menyadari peran istimewanya, selain bahwa ia seperti kebanyakan “Pak Ogah” lain.
Sampai satu saat, ia mulai jarang masuk. Ya, ia digantikan oleh orang lain, tidak hanya satu, tapi berganti-ganti.
Ada yang aneh. Ya, aneh. Antrian mobil yang mau menyeberang menjadi lebih panjang dari biasanya. Tidak hanya sekali, tapi berkali-kali saya tandai. Setiap kali ia digantikan oleh orang lain, antrian menjadi panjang. Dan setiap kali ia kembali bertugas, antrian pun memendek.
Cukup lama saya dan istri memperhatikan apa yang terjadi, sampai satu waktu kami menyadari, bahwa “Si Makasih” memang memiliki cara mengatur lalu lintas yang unik. Tidak saja ia lebih cekatan dibandingkan yang lain, ia terasa memiliki wibawa yang lebih tinggi di jalanan. Jika Pak Ogah lain menghalangi satu jalur untuk memberi jalan pada jalur lain, dan seringkali masih diterabas, lain dengan “Si Makasih”. Begitu ia pasang badan, atau berteriak “STOP!”, seketika tak ada yang berani lewat. Gerakannya begitu taktis, sehingga antrian pun menjadi amat wajar.
Ah, Anda pernah mendengar sekolah untuk menjadi Pak Ogah? Sama, saya juga belum. Begitu pun pelatihan, apalagi sertifikasi. Pak Ogah adalah profesi alamiah yang terjadi begitu saja, utamanya di Jakarta. Sebuah profesi yang saya rindukan ketika berada di Jogja yang mulai padat, dan sebagai pengemudi kita harus berjuang sendiri untuk berbelok menembus jalur.
Maka saya yakin “Si Makasih” pasti tak pernah belajar keterampilan mengatur lalu lintas ala Polantas di sekolah-sekolah kepolisian. Ia pasti mempelajarinya di jalanan. Learning by doing, kata orang sekolahan. Tapi mengapa rekan-rekannya yang lain tidak secanggih dia? Mengapa hasilnya berbeda?
Saya pun teringat sebuah bahasan dalam buku karya Marcus Buckingham, “First, Break All the Rules”, bahwa setiap profesi memerlukan bakat. Dikisahkan dalam buku tersebut, bahkan profesi yang kata orang bisa dilakukan oleh siapapun seperti housekeeper, membutuhkan bakat agar ia exceptional. Kalau sekedar bersih, semua orang tentu bisa. Tapi bersih dan punya nilai estetika, plus dilakukan setiap hari secara konsisten, ia jelas membutuhkan lebih dari sekedar basic training dan SOP. Ya, ia membutuhkan bakat.
Nah, “Si Makasih” ini, saya asumsikan memang memiliki bakat yang ia perlukan untuk menjadi seorang Pak Ogah yang efektif. Kegesitan, kecepatan mengambil keputusan, gaya bicara yang lugas, klop dah semua yang mendukung untuk menjalankan tugasnya. Maka rekan-rekannya yang menggantikan pun kuwalahan setiap kali ia absen (atau cuti?). Rupanya profesi ini tak semudah yang mereka bayangkan.
Dan Anda bisa bayangkan betapa pentingnya profesi ini di kota seperti Jakarta? Ya! Sangat-sangat penting. Tanpa Pak Ogah expert seperti “Si Makasih”, para bos pengambil keputusan bisa telat sampai kantor akibat antrian yang berkepanjangan. Belum lagi pesawat yang delay akibat pilot yang terlambat. Wuih!
Hmm…jika profesi seperti Pak Ogah saja memerlukan bakat agar exceptional dan excellent, bagaimana dengan profesi lain?
Maka bahasan kita di artikel sebelumnya tentang alasan kita hidup pun menjadi lebih masuk akal, bukan? Bahwa tiap manusia memiliki tugas yang ia emban dalam hidup, dan Tuhan telah memberinya segala yang ia butuhkan untuk menjalankan tugas tersebut. Anda dan saya, tidak lahir tanpa tujuan. Kita lahir dengan tugas, dan bekal yang memadai untuk menjalankannya.
Ini adalah fase: “Siapa Aku?” alias Self Awareness. Fase wajib sebelum melangkah kemana pun. Sebab yang tidak kita sadari, tidak bisa kita kelola. Yang tidak bisa kita kelola, tidak bisa kita pimpin.
Begitu kita menyadari apa saja potensi yang sebenarnya kita miliki, maka saatnya menentukan rute mana yang akan kita lalui.
Rute?
Yes. Tidak sekedar dream, atau goal. Hidup adalah rangkaian perjalanan dari satu rute menyambung ke rute yang lain, yang berujung pada terminal tujuan puncak: Tuhan. Maka apapun goal Anda dalam hidup, sejatinya tidak sekedar sebuah tujuan, melainkan sesuatu yang dapat mendekatkan Anda untuk kembali dengan mulus. Inilah fase, “Mana Jalanku?”
Nah, saat rute sudah ditentukan, langkah selanjutnya adalah “Apa saja yang harus kulakukan?” Haruskah naik mobil, angkutan umum, numpang teman, dll? Jangan-jangan tak bisa dengan jalan darat dan harus lewat udara? Berapa jauh? Bekal apa yang diperlukan? Jika dengan kendaraan sendiri, bagaimana harus mengemudikannya? Dan seterusnya.
Salah menentukan cara, maka perjalanan pun terhambat. Bagaimana bisa menyeberangi pulau jika tak pakai kapal feri? Di titik inilah kita menyusun perencanaan, sebab kegagalan seringkali bukan disebabkan oleh tujuannya, melainkan cara mencapainya. Mau ke Tangerang dari Bekasi, yang ada hanya sepeda. Bisa sampai sih, tapi besok. Hehehe…
Cukupkah dengan 3 fase di atas?
Ya, jika tujuan hidup Anda hanya di dunia. Tiga fase tersebut sudah akan cukup membantu Anda untuk mencapai kebahagiaan dalam jangka pendek. Namun untuk memastikan kita bisa kembali dengan mulus, putaran ketiganya harus senantiasa diarahkan “Ke Mana Aku Menujut?”: Tuhan.
Tuhan?
Ya. Mengarahkan hidup kita untuk melangkah selalu menuju Tuhan akan menjadikan kita insan tanpa batas potensi, sebab kita sedang berada dalam naungan Yang Maha Segala. Kita akan senantiasa berada dalam state of mind yang unik, penuh percaya diri, penuh keyakinan, dan pantang menyerah.
Hidup pun jadi indah nan nikmat. Setiap detik adalah pencarian, sekaligus pencapaian.
Bagaimana persisnya NLP membantu kita menjalani tiap fase di atas?
Tunggu artikel selanjutnya, OK!
Subhanallah…saya semakin penasaran ingin ikut leadership self mastery..trimakasih pituturnya mas Teddy