Aku ingin membahas tentang hubungan. Lebih tepatnya, hubungan antarmanusia. Ini tema menarik. Sebab rupanya manusia memiliki berbagai jenis hubungan dengan manusia lain. Dan tiap hubungan memiliki keunikan, juga fungsinya masing-masing bagi diri. Kita punya peran dalam hidup orang lain, sebagaimana orang lain pun punya peran dalam hidup kita. Ada peran yang kita sadari, ada yang tidak. Ada yang langsung, ada yang tidak.
Merujuk pada sejarah penciptaan, maka hubungan paling pertama yang dimiliki antarmanusia adalah hubungan pernikahan. Adam diciptakan pertama kali, lalu Hawa diciptakan daripadanya. Keduanya jadi pasangan suami istri, meski tak seperti hubungan pernikahan pada era ini. Dari keduanya lahirlah hubungan orang tua anak. Lalu hubungan saudara kandung. Kala beranak cucu, lahirnya hubungan keluarga besar. Ketika manusia berpencar dan tak saling mengenal, muncullah hubungan pertemanan, persahabatan. Di antara nya ada hubungan permusuhan. Era modern melahirkan hubungan bisnis sampai antarbangsa dan negara.
Mari kita coba ulas salah satunya dulu: hubungan pernikahan.
Hubungan pernikahan di era ini jadi menarik, sebab ia tak lagi mesti dijalani terpaksa serupa Adam dan Hawa atau anak-anak mereka yang tak punya banyak pilihan. Pernikahan di era ini adalah hubungan yang dimulai dengan kesetaraan. Dua insan memiliki hak untuk memilih dan dipilih. Memang, ada perjodohan—yang mungkin bernuansa pemaksaan—namun jumlahnya kian menipis. Pada masyarakat terbuka dan demokratis, pernikahan benar-benar adalah hubungan dengan komitmen tinggi yang dijalankan penuh kesadaran.
Berbeda dari hubungan orang tua-anak atau kakak-adik, pernikahan adalah hubungan yang lahir dari keputusan. Karenanya, ada banyak hak pasangan yang tak bisa didapatkan bahkan oleh orang tua dan saudara kandung. Mungkin karena di sinilah letak kebebasan dan kemerdekaan seseorang diberi ruang. Pada orang tua, kita tak bisa memilih, hanya bisa menerima. Begitu pula dengan saudara kandung. Maka bagaimanapun, ada batasan dalam hak dan kewajiban. Namun suami-istri, bebas membuka area paling privat tanpa sekat, karena satu sama lain adalah orang yang dipilih dengan kesadaran, kemerdekaan.
Tapi justru karena tak ada kemerdekaan itu pula, hubungan pernikahan bisa diakhiri. Tepat ketika satu sama lain tak mungkin untuk melanjutkan. Dan pada saat itu, batasan ketat diberlakukan lagi. Beda dengan hubungan persaudaraan yang tak pernah bisa diputus, pernikahan sangat mungkin diakhiri, dan masing-masing pun bisa membuka lembaran baru dengan pasangan lain.
Maka pernikahan memang adalah hubungan yang melatih kebebasan diri. Dan dalam kebebasan, terkandung tanggung jawab. Ya, tidak hanya hak, tapi kewajiban. Al Qur’an menyebut hubungan ini perjanjian yang teguh, berbobot, berat. Padanyalah terkandung kesungguhan, komitmen. Padanya pula kan lahir diri yang mendewasa. Ya, kematangan dibutuhkan untuk memulai dan menjalani pernikahan. Pada saat yang sama, pernikahan pun kan mematangkan.
Karena dasarnya adalah kebebasan—padahal terkandung perbedaan karakter—maka pernikahan perlu disatukan dengan sesuatu yang disepakati bersama. Orang di masa ini menyebutnya dengan visi atau tujuan. Di bawah naungan tujuan itulah, perbedaan menemukan tempat untuk saling melengkapi. Dan serupa puzzle yang bertemu sudut-sudutnya, pertemuan itu kan melahirkan ketenteraman. Inilah sakinah. Ketenteraman jiwa. Ciri pernikahan yang layak dijalani adalah ketenteraman saat melihat satu sama lain. Maka usahakanlah itu, wahai diri. Usahakanlah jadi pribadi yang menenteramkan. Usahakanlah pula bertingkah laku yang memicu ketenteraman batin.