Menjadi trainer, atau fasilitator, bukanlah cita-cita saya sejak kecil. Ia saya temukan secara tak sengaja saat kuliah, yang kemudian saya merasa merupakan salah satu jalan yang diberikan Tuhan untuk menjadikan kehidupan saya berarti. Terus hingga kini, mengajar—apapun istilah yang digunakan—adalah sebuah pengabdian. Entah bagaimana saya merasa bahwa Tuhan karuniakan saya kemampuan yang semoga bermanfaat.
Namun semakin saya selami profesi ini, semakin saya menyadari bahwa menjadi trainer, meski bagi sebagian orang tampak mentereng, tak lain adalah guru jua. Model dan tipikal kelas yang diajar mungkin berbeda, tapi esensi tugasnya sama. Maka perilaku seorang trainer, sejatinya mestilah perilaku seorang guru. Apalagi jika materi yang dibawakannya menyangkut persoalan kehidupan. Maka trainer adalah guru, yang digugu dan ditiru.
Ingatan saya pun melayang pada sebuah nasihat yang mengatakan bahwa seorang guru adalah kitab yang terbuka. Setiap orang akan melihat gerak langkahnya, adakah ia bersesuaian dengan apa yang diajarkan. Hingga baiklah kiranya kita renungkan pula ajaran tuk:
Catatlah yang terbaik dari yang kau dengar
Hafalkan yang terbaik dari yang kau catat
Lakukan yang terbaik dari yang kau hafal
Ajarkan yang terbaik dari yang kau lakukan
Sebab adalah tabiat insan tuk lebih mudah mengikuti langkah kaki daripada jutaan kata.
Di titik inilah, saya pun mulai memahami bahwa memang tak layak bagi seorang trainer tuk berlaku terlalu layaknya seorang pedagang. Benar, ia berbisnis. Namun jauh sebelum bicara harga, seorang trainer sungguh mesti bicara misi.
Apa pasal?
Ya sebab ia tak sekedar berdagang. Ia membawa ilmu, yang kemuliaannya mestilah terjaga. Maka sungguh tak layak—hemat saya—ia menawarkan jasa sebagaimana ia menawarkan barang, memasang iklan dengan janji bombastis, seolah sebuah kelas dapat mengubah kehidupan seseorang dalam semalam. Para guru di sekolah yang dengan tekun mengajar siswa setiap hari saja tak pernah berani mengklaim perubahan radikal, lalu apa dasar seorang trainer mengatakan ia bisa menyulap karakter manusia dalam hitungan jam?
Trainer adalah guru. Maka adab seorang trainer, sejatinya adalah adab seorang guru. Ia pembelajar, sebelum menjadi pengajar. Ia hidup dengan ilmunya, dan membagikan dengan keikhlasan. Tentu boleh ia mengambil penghasilan, namun tak layak lah itu menjadi tujuan. Penghasilan, adalah alat bagi seorang trainer untuk menghidupi misinya.
Trainer adalah guru. Maka ia menjaga kehormatan dirinya, dengan menjaga kemuliaan lelakunya. Agar ilmu yang ia sampaikan tak direndahkan, hanya sebab sang penyampai yang masih berkubang dalam lelaku tercela.
Trainer adalah guru. Maka tujuan utamanya adalah menjadikan para murid tertarik pada ilmu yang ia ajarkan, bukan pada pengajarnya semata. Benar, trainer harus menarik dalam penyampaian. Namun selalu lah bertanya, adakah audiens kan tetap bergairah menimba ilmu kala ia terpaksa digantikan oleh orang lain? Jika ya, berhasil lah ia. Jika tidak, celakalah, sebab bisa jadi sang trainer telah menjadikan dirinya pusat ketertarikan, hingga melalaikan gairah keilmuan.
Trainer adalah guru. Maka meski ia dibayar, bukanlah berarti ia lemah tak berdaya hadapi keinginan klien. Ia bukan vendor. Ia adalah pendidik, yang tahu persis apa yang ia lakukan, sehingga tak mudah dikendalikan tuk mengubah materi, durasi, atau gaya penyajian, semata-mata sebab sang klien menghendaki sesuatu yang menyenangkan. Memperhatikan evaluasi setelah program tentu baik untuk perbaikan. Namun jangan jadikan ia ukuran keberhasilan. Sebab apa yang menyenangkan, belum tentu baik dan benar. Cermatlah, wahai trainer, canda tawamu di kelas bukanlah tanda keberhasilanmu.
Ah, tak sanggup rasanya melanjutkan. Sungguh berat. Semoga Allah ampuni saya yang telah melalaikan tugas guru dalam profesi trainer ini.
Sedikit manusia yg mau membuka diri untuk menyatakan tugas berat seorang pengajar yg kemudian sprt diarahkan u sll mengingat tingkah…tulisan penerang ini mnjd slh satu lecutan agar pengajar sll dlm tracknya.Trm ksh untukmu, pengingat 🙂
Mohon doa agar penulisnya mampu menjalankan apa yang ia tulis ya.
Saling mendoakan adalah kewajiban sesama muslim 🙂
Terima kasih paparannya. sangat menginspirasi. momentnya tepat buat saya yang diberi amanah menjadi trainer di salah satu perguruan tinggi di jogja. sebelum ini, saya hanya fokus menyiapkan materi. diri saya sendiri belum saya siapkan. tapi benar adanya, ini pengabdian. saya sadar mengapa jalan hidup saya begitu berat saat remaja, adalah karena Tuhan menyiapkan saya agar mendewasa lebih cepat. perilaku dan bertutur kata menjadi lebih dewasa dan bijak, ternyata itulah bekal seorang trainer.
makasih Teddi
Moga manfaat ya Bu. Selamat menikmati perjalanan.
nice posting pak teddi, karena sungguh perilaku diri itulah sebenar-benarnya guru… ijin share ya… maturnuwun
Moga manfaat ya Bu…