Adalah jamak kita dengar bahwa hidup adalah rangkaian pilihan. Kita hari ini adalah hasil dari beragam pilihan yang kita buat kemarin. Maka kita esok adalah hasil dari jutaan pilihan yang kita buat kini. Pun kala dirasa diri terpaksa, ia pun adalah sebuah pilihan: pilihan tuk menuruti pemaksaan.
Yang terakhir ini sungguh sering kudengar, bahkan—semisal—dari para peserta yang baru saja selesai membahas tentang kepemimpinan diri. Kalimat yang acap muncul adalah, “Seharusnya orang yang ada di atas saya lah yang belajar hal ini.” Lalu jadi lah sebuah alasan tuk tak menggunakan ilmu yang baru dipelajari.
Sungguh sulit perubahan dimulai, jika diri masih berkutat pada perasaan menjadi korban. Bahwa orang-orang di luar sana lah yang bertanggung jawab atas hidup kita. Bahwa kita kecil, apalah artinya usaha seseorang, dibandingkan jutaan lain yang berperilaku menentang.
Ah, mungkin diri ini lupa, bahwa peradaban selalu dimulai oleh seseorang. Pun Tuhan selalu hadirkan utusan hanya seorang demi seorang, tak pernah bergerombol. Maka mereka yang meremehkan kekuatan seseorang, sejatiny a memang sedang mengkerdilkan dirinya sendiri.
Setidaknya ada 2 resep yang memungkinkan diri tuk berpindah dari perasaan menjadi korban. Keduanya adalah pertanyaan, sebab pertanyaan adalah kunci menuju pintu jawaban.
Pertama, adalah tanya, “Apa yang bisa kulakukan?” Seketika seseorang menanyakan hal ini pada dirinya, ia sejatinya telah melepaskan diri dari jeratan kemalasan yang mengerdilkan. Tentu tak serta merta seluruh masalah sirna, namun seluruh jiwa sedang diarahkan menuju samudera jawaban yang teramat luas.
Kedua, adalah tanya, “Apa saja pilihan yang kumiliki?” Ya, sebab hidup adalah pilihan, maka langkah awal sebelum memilih adalah menyediakan pilihan itu sendiri. Dan ada sebuah kaidah yang mengatakan, ‘memiliki satu pilihan bukanlah memilih’. Sebab memang pilihan sejatinya tak pernah hanya satu. Ianya banyak, namun mata acapkali tak melihatnya, atau tertutupi. Bertanya demikian, menggelitik diri tuk membuka jutaan kemungkinan yang mungkin sebelumnya terabaikan.
Menggunakan keduanya dengan sesungguh usaha, niscaya hadirkan kesadaran bahwa setiap masalah memang dihadirkan tuk menumbuhkan. Sebab kebahagiaan sejati, memang tak dilalui dengan hanya kesenangan dan kemudahan, melainkan ketekunan menjalani hal-hal nan berarti.