“Cintailah dirimu, dengan melangkah dalam ketaatan, dan menjauhi keburukan.”
Sungguh diri ini kecil, bagai debu atau lebih kecil lagi, dibanding kekuasaanNya. Sementara keburukan terus meninggalkan jejaknya, tak sedikit pun nikmat pernah terhenti. Maka dua sisi dosa telah menanti: tak mensyukuri nikmat, tak henti berkesalahan.
Lupakah kau, wahai diri, bahwa bukan Dia yang membutuhkan ketaatanmu. Bukan pula Dia yang tersakiti atas keburukanmu? Ketaatanmu, sungguh adalah untuk dirimu sendiri. Sebab tanpa ketaatan, tubuhmu rapuh, jiwamu kering, dan pastilah tabungan amalmu melompong. Begitu pun penghindaranmu atas keburukan, sungguh juga demi kebaikanmu sendiri. Karena berkeburukan merusak dirimu, menodai ruhmu, dan jelas meninggikan tabungan dosamu.
Kecilnya dirimu ini, wahai diri, cukuplah tuk hadirkan getaran hati yang menundukkan jiwa. Pandanglah sekeliling, bukankah segera kau dapati betapa tak layak egomu membumbung tinggi, hingga hatimu tak jua sujud mengikuti dahimu?
Hidupmu sungguh di ujung tanduk. Kecil, lemah, tak berdaya. Sebuah tanya terbersit, menelusup membangunkan bulu kuduk: akankah aku selamat di hari pengadilan kelak? Bagaimana kah ku kan melintasi jembatan sirath? Apa yang kulakukan menghadapi panasnya api yang tetesannya saja kan hancurkan dunia?
Duh, cintailah dirimu, wahai diri, cintailah. Mencintai dirimu adalah meneguhkan langkah berketaatan. Memaksanya bila perlu, sebab ia tak lama tuk akhirnya kan tunduk dalam damai. Mencintai dirimu juga adalah meluruskan langkahmu yang bengkok-bengkok. Menempanya agar tak mudah tergoda kenikmatan, namun merindu keshalihan.