Sebagaimana telah saya singgung pada artikel lalu, NLP amat erat hubungannya dengan kepemimpinan. Sebab mempraktikkan NLP, sejatinya adalah menjadi tuan atas diri sendiri, menjadi pemimpin atas diri sendiri.
OK, kepemimpinan. Ia adalah sebuah nominalisasi. Kata benda, yang bukan benda. Meski secara kaidah kebahasaan tergolong kata benda, kita tidak pernah bisa menemukannya di pasar, mal, pun toko online. Sebab kepemimpinan memang sebenarnya sebuah proses. Kumpulan perilaku yang terangkai dalam tema tertentu. Maka untuk memahami apa itu kepemimpinan, dan bagaimana kita bisa melakukannya dengan baik, kita perlu membedahnya. Melakukan cracking, dalam istilah pegiat NLP.
Untuk memahami kepemimpinan, utamanya dalam bahasan kali ini adalah kepemimpinan diri, paling mudah menggunakan kerangka yang diusung oleh Stephen R. Covey dalam karyanya The 7 Habits of Highly Effective People. Ketujuh kebiasaan yang diajarkan oleh Covey dalam buku tersebut, 3 di antaranya adalah soal bagaimana kita menjadi individu yang mandiri—menjadi pemimpin diri. Apa saja 3 kebiasaan itu?
- Jadilah proaktif.
- Mulailah dari tujuan akhir.
- Dahulukan yang utama.
Mudahnya, kebiasaan 1 adalah soal bertanggung jawab atas respon kita sendiri. Lawannya adalah reaktif, yakni menyalahkan lingkungan atau orang lain atas apa yang terjadi pada kita.
Kebiasaan 2 adalah tentang menentukan tujuan. Sebab menetapkan tujuan, adalah setengah perjalanan. Sesuatu yang bisa kita ciptakan dalam pikiran, selalu memiliki kemungkinan untuk terwujud dalam kenyataan. Karena seorang yang proaktif bertanggung jawab terhadap responnya, ia bertanggung jawab terhadap nasibnya. Jadilah ia tentukan tujuan hidupnya, arah hidupnya, ingin menjadi seperti apa dirinya kelak.
Kebiasaan 3 adalah soal eksekusi. Mendahulukan hal-hal yang utama berarti mendahulukan untuk mengerjakan hal-hal yang mengantarkan kita pada tujuan yang telah ditetapkan (kebiasaan 2). Sebab jika kita tidak mendahulukannya, maka waktu kita akan habis digunakan untuk mengerjakan berbagai hal tidak penting, yang menjauhkan kita dari tujuan. Impian boleh tinggi, tanpa disiplin eksekusi, ia terbang dan tak kembali.
Menjalankan 3 kebiasaan ini, menjadikan kita seseorang yang mandiri. Betapa tidak? Kita adalah orang yang bertanggung jawab (tidak suka menyalahkan keadaan), memiliki tujuan yang jelas, dan berjuang keras untuk mencapai tujuan itu. Apa namanya jika bukan mandiri? Apa pula namanya jika bukan disebut pemimpin diri?
Ketiga kebiasaan ini, menurut Covey, adalah kebiasaan yang mendasari lahirnya kelayakan untuk dipercaya (trustworthiness). Sebab layak dipercaya, maka kita layak untuk mendapatkan kepercayaan (trust). Kepercayana inilah, dalam khazanah NLP, yang disebut dengan rapport, alias keakraban atau sensasi ketersambungan (sense of connectedness). Tengok saja di perusahaan. Siapa kah staf yang akan diangkat menjadi manajer? Pastilah orang yang kala jadi staf bekerja dengan mandiri, selalu berhasil membuktikan kualitas dirinya dengan mencapai kinerja yang baik. Masuk akal, kan?
Nah, sampai disini, meminjam kerangka 7 Habits, maka untuk membangun kepemimpinan diri, kita perlu membiasakan 3 hal: bertanggung jawab atas respon, menentukan tujuan yang menantang, disiplin eksekusi.
Ah, terdengar amat berkaitan dengan NLP?
Jelas! Yuk kita bahas satu demi satu.
Bagaimana kita bisa bertanggung jawab terhadap respon? Bagaimana tidak menyalahkan orang lain atau keadaan atas respon kita?
Ya dengan menggunakan model submodalitas untuk pengelolaan pikiran dan perasaan (state management). Pikiran dan perasaan, dalam NLP, memiliki struktur. Memahami cara kerja struktur ini memungkinkan kita untuk memegang remote control atas pikiran kita. Maka rasa malas, bisa kita ubah menjadi semangat. Pikiran gagal, bisa kita ubah menjadi kemungkinan berhasil. Rasa takut, bisa kita ubah menjadi berani. Dan seterusnya.
“Selalu ada ruang antara stimulus dan respon,” demikian Covey mengajarkan.
Ruang itu adalah kebebasan kita untuk mengelola gambar, suara, dan rasa dalam diri kita. Dan ini, NLP banget gitu loh!
Lalu bagaimana kita bisa menetapkan tujuan?
Dalam NLP, outcome adalah salah satu pilar utama. Dan salah satu skema penetapan tujuan yang ampuh adalah Wellformed Outcome (WFO). Ada banyak versi mengenai ragam pertanyaan pemandunya. Namun saya amat terbantu dengan 18 pertanyaan yang diajarkan oleh Michael Hall. Kesemua pertanyaan tersebut, saat kita gunakan sebagai panduan menetapkan tujuan, akan memungkinkan kita memiliki sebuah tujuan yang terbentu dengan baik, sehingga memiliki kemungkinan besar untuk kita capai.
Nah, satu hal yang saya merasa masih agak jarang dibahas dalam NLP adalah soal misi. Dan ini adalah bahasan penting dalam 7 Habits. Covey mengatakan bahwa tujuan yang paling penting untuk kita tetapkan, sebelum tujuan-tujuan lain adalah misi hidup kita. Misi, bukanlah sekedar tujuan. Misi, adalah tujuan yang merupakan alasan utama keberadaan kita di muka bumi. Misi, adalah hasil penelusuran kita ke dalam terhadap pertanyaan, “Untuk tujuan apa Tuhan ciptakan saya?” Karena setiap insan unik, maka ia pasti memiliki sebuah peran yang unik pula, yang tak mungkin digantikan oleh orang lain. Inilah misi.
Caranya?
Ah, ini menariknya. Setelah saya telusuri, rupanya ada beberapa teknik dalam NLP yang bisa membantu kita untuk merumuskan misi. Ia adalah Neuro Logical Level dari Robert Dilts dan Matrix Model dari Michael Hall. Dua model ini, saat dijalankan, akan mengajak kita untuk menelusuri cetak biru diri ini, untuk kemudian memahami misi hidup kita.
Menggabungkan NLL dan WFO, kita akan memiliki tujuan-tujuan nyata (WFO) yang selaras dengan misi. Ini jelas sebuah energi teramat besar untuk kita jalani hidup. Sebab tak jarang orang menetakan WFO, namun tak termotivasi, atau bahkan menjadi stres, karena itu bukan misi hidupnya. Keselarasan keduanya lah yang akan menjadikan seseorang teraktualisasikan dirinya.
Lalu, bagaimana dengan eksekusi?
Di titik inilah sebenarnya pertemuan yang amat jelas antara NLP dan kepemimpinan. Sebab NLP, dari sononya adalah ilmu pragmatis yang berorientasi pada hasil. Dari NLP lah, saya mendapatkan pemahaman tentang pentingnya cek ekologi dan future pacing. Cek ekologi adalah sebuah proses untuk memastikan bahwa suatu perubahan dalam diri telah selaras dengan bagian diri yang lain. Sebab memang tidak semua perubahan demikian. Ada banyak perubahan yang dilakukan terlalu drastis, malah memiliki efek samping yang negatif. Sehingga pada dasarnya, cek ekologi adalah usaha untuk memastikan sebuah perubahan bisa terimplementasi tanpa gangguan.
Sementara itu, future pacing adalah proses untuk memastikan bahwa sebuah perubahan memang benar-benar bisa dijalankan di dunia nyata. Dalam future pacing, kita biasa diminta untuk memikirkan diri berada dalam situasi yang baru, dan memikir-rasakan diri sedang melakukan perilaku yang baru. Ini dilakukan untuk mengintegrasikan perubahan yang telah dilakukan dengan sistem diri secara keseluruhan.
Beberapa teknik lain pun bisa digunakan, seperti New Behavior Generator dan Mind to Muscle, sehingga tiap perilaku baru yang diperlukan untuk mencapai tujuan bisa dijalankan secara otomatis.
OK, itu garis besarnya.
Detilnya?
Nantikan artikel selanjutnya ya…