NLP untuk Aktualisasi Diri

Pada artikel yang lalu saya telah membahas sedikit tentang kaitan sejarah antara NLP dan Human Potential Movement. Lebih lengkapnya silakan pelajari dalam buku karya L. Michael Hall, “Self Actualization Psychology”. Tentu, ini adalah penafsiran Hall, dan masih perlu ditelusuri lebih lanjut. Namun setidaknya kita bisa mendapatkan sebuah gambaran yang lebih besar dan utuh tentang apa sebenarnya NLP itu.

Ya, memahami bahwa ada kemungkinan akar NLP adalah dari riset-riset tentang manusia sehat yang dipelopori oleh Maslow, kita bisa merasakan bahwa NLP punya arah yang lebih luas. Tidak bisa dipungkiri, meski Richard Bandler sungguh sering mengatakan, “NLP is not therapy!”, namun kenyataannya terapi selalu menjadi bahasan utama dalam NLP. Para pembelajar yang mengikuti kelas NLP Practitioner banyak mendapati di akhir kelas biasanya ada semacam ujian praktik berupa terapi. Maka ketika NLP kiranya punya kaitan dengan Aktualisasi Diri, fungsinya sungguh menjadi teramat besar. Apalagi, Maslow sejatinya sejak puluhan lalu telah mengembangkan teori yang tak hanya membahas aktualisasi diri dalam ranah diri itu semata, namun sudah sampai pada organisasi dan masyarakat. Masyarakat sehat, sebagaimana organisasi yang sehat, adalah ia yang terdiri dari orang-orang sehat, dan memfasilitasi tumbuhnya orang-orang sehat. Jika dalam kerangka ini kita memahami NLP, wah, sungguh besar dan panjang perjalanan kita.

Hari Minggu, 19 Mei 2013 lalu, bersama kurang lebih 60 orang peserta, para pegiat Indonesia NLP Society telah mencanangkan arah baru komunitas ini. INLPS akan bergerak untuk mengajak sebanyak mungkin orang belajar NLP, dan mempraktikkannya guna mencapai aktualisasi diri. Nah, omong-omong, apa sih aktualisasi diri itu?

Istilah bisa macam-macam. Namun agar kita tak perlu pusing menciptakan istilah baru, maka kita gunakan dulu saja lah istilah yang telah tersedia. Abraham Maslow, sebagaimana diteruskan oleh Michael Hall, menggunakan istilah Aktualisasi Diri untuk menggambarkan manusia yang mencapai puncak pemanfaatan potensinya. Tiap diri memiliki potensi, dan potensi tersebut diaktualkan, dijadikan nyata, dijadikan manfaat, dijadikan aksi. Hall mengembangkan Self Actualization Quadrant, yang menjelaskan bahwa aktulisasi diri adalah pertemuan antara makna dan kerja (meaning and performance). Para self actualizer, adalah orang yang bertemu dalam dirinya visi besar, sekaligus kesungguhan mewujudkannya. Tak heran jika mereka sering mengalami pengalaman-pengalaman puncak (peak experience) kata Maslow atau flow (menurut istilah Cziksenmihalyi.

Apakah mereka orang-orang dengan bakat tertentu?

Tidak. Sebab Maslow mengatakan bahwa self actualizer bukanlah orang biasa yang diberi kelebihan tertentu. Mereka adalah orang biasa ‘with nothing is taken away’. Maka aktualisasi diri adalah untuk semua orang, tanpa terkecuali.

Apakah semua orang mencapainya?

Nah, ini yang belum tentu. Sebab perjalanan mengaktualisasikan diri bukan lah perjalanan yang mudah dan menyenangkan selalu. Ada banyak ‘harga’ yang harus dibayar untuk memahami potensi diri, dan menggerakkan segenap aksi untuk mewujudkannya. Mari kita simak sejarah tokoh-tokoh yang nama dan ajarannya melintas zaman. Segera kita temukan bahwa mereka menjalani hidup dengan lengkap, kesenangan dan kesusahan.

 

Mari Menengok Maslow

Mari berangkat dari Maslow. Dari teori Hirarki Kebutuhan-nya yang kesohor itu. Ia jelaskan bahwa manusia bergerak dari satu kebutuhan ke kebutuhan lain. Dari kebutuhan bertahan hidup, ke rasa aman, ke cinta dan kasih sayang, ke harga diri, lalu ke aktualisasi diri. Menarik untuk dicermati bahwa Maslow membedakan kesemua kebutuhan ini menjadi 2 bagian. Kebutuhan bertahan hidup hingga harga diri ia sebut sebagai deficiency needs alias lower needs. Sedang kebutuhan aktualisasi diri ia sebut sebagai growth needs alias higher needs. Kebutuhan ‘bawah’, disebut sebagai defisiensi, sebab ia lah jenis kebutuhan yang hadir karena kondisi kekurangan, yang kala dipenuhi maka hilanglah kebutuhan itu sampai nanti hadir lagi. Contoh: kebutuhan untuk makan dan minum. Ia hadir hanya kala tubuh ini memerlukannya. Setelah dipenuhi, maka tambahan makan dan minum takkan menggerakkan kita lagi. Ia baru muncul kembali saat tubuh membutuhkannya. Sisi lain, kebutuhan ‘atas’, disebut sebagai ‘pertumbuhan’, sebab kala ia dipenuhi, alih-alih menghilang, justru makin bertambah. Kebutuhan inilah yang menjadikan manusia tumbuh terus jiwanya, hingga tampak aktual lah dirinya.

Namun jangan salah mengerti, bahwa kebutuhan-kebutuhan ‘bawah’ akan hilang kala manusia mencapai kebutuhan ‘atas’. Ia tetap ada, namun pemuasannya mudah saja, secukupnya, dan ia kan menghilang. Ia tetap dipenuhi, namun tak jadi fokus utama. Ia dipenuhi, demi mendukung aktualisasi diri. Memang, model teori Maslow yang serupa piramida menjadikan kebutuhan-kebutuhan ini seolah seperti atas dan bawah. Padahal kesemuanya adalah satu kesatuan yang tetap ada dan saling berinteraksi.

Lalu bagaimana kah kita bisa bergerak dari manusia dengan kebutuhan ‘bawah’ menjadi manusia dengan kebutuhan ‘atas’?

Maslow sebenarnya sudah pernah mengutarakannya. Dalam bukunya bertajuk Farther Reaches of Human Nature, ia bertutur bahwa kita bergerak ‘naik’ dengan mencukupkan diri pada kebutuhan ‘bawah’, lalu memberanikan diri dalam ketidakpastian di kebutuhan ‘atas’. Dalam bahasa mudahnya, mengatakan cukup pada yang lalu, dan memeluk ketidakpastian di masa depan.

Maka para self actualizer, adalah mereka yang mampu mencukupkan diri pada kebutuhan bawah. Mereka makan, untuk memenuhi kebutuhan fisiknya semata. Bukan untuk gengsi, bukan sebab rakus. Mereka memiliki tempat tinggal, untuk semata beristirahat. Bukan untuk tampak keren, terlihat kaya. Mereka memiliki pasangan, dan setia kepadanya tanpa merasa perlu untuk mencari yang lain demi pemuasan nafsu semata. Mereka ingin dihargai, namun tak mencari penghargaan dari semata komentar manusia.

Kata ‘cukup’ menjadi kunci, sebab kebutuhan yang terus-menerus dituruti sejatinya tak pernah kan terpenuhi. Kemampuan kita untuk berkata ‘cukup’ adalah kunci untuk membedakan antara keinginan dan kebutuhan. Dan hanya mereka yang ahli dalam berkata cukup ini lah yang akan naik pada kebutuhan aktualisasi diri.

Teori Maslow yang ini, entah mengapa, tidak sepopuler teori Hirarki Kebutuhan. Padahal jika ia dibahas oleh para ilmuwan sebanyak Hirarki Kebutuhan, mungkin sejak lama kita akan mendapati beragam cara mengaktualisasikan diri.

 

Dari Maslow, Mari Beranjak Hall

Hall menyebut makna sebagai kata kunci dalam aktualisasi diri. Bahwa untuk mencukupkan diri, seseorang perlu mencermati makna yang ia berikan pada tiap kebutuhan. Ketika makan dimaknai sebagai aktivitas untuk mendapatkan tenaga, maka dengan mudah kita kan berhenti kala perut telah kenyang—bahkan sebelum itu. Namun kala makan dimaknai dengan gengsi, ‘mumpung ditraktir’, ‘jarang-jarang ada makanan enak seperti ini’, ‘penghilang stres’, efeknya amat jauh berbeda. Seseorang bisa makan terus, meski perutnya telah penuh. Atau alih-alih makan makanan sehat, ia terus menyantap makanan tak sehat sebab mencari rasa enak semata.

Makna adalah bahasan utama dalam Neuro Semantic yang dikembangkan oleh Hall dan Bodenhammer. Berdua, yang lalu berkembang menjadi komunitas ISNS, makna dibedah dan dioperasionalisasikan dalam istilah meta state. Kita sudah mengenal state dalam NLP. Ia kondisi pikiran dan perasaan yang menggerakkan tindakan. Pikiran tentang kenaikan gaji, berinteraksi dengan perasaan senang, menjadi sebuah state gembira, yang mendorong terbitnya senyum merekah. Pikiran ini, dalam NLP, disebut dengan representasi internal, gambar-suara-rasa yang terdapat dalam pikiran kita. Peta yang kita gunakan untuk memaknai dunia luar.

State yang seperti di atas, gembira karena kenaikan gaji, disebut dengan primary state, alias state yang lahir langsung berkaitan dengan pengalaman. Menariknya, manusia memiliki banyak jenis state yang kerjanya bahkan bisa saling bertumpuk-tumpuk. Misal, setelah menghitung kenaikan biaya kontrak rumah dan sekolah anak yang ternyata melebihi kenaikan gaji, seseorang bisa merasakan sedih atas perasaan gembira tadi. Nah, ‘sedih’ ini adalah meta state, state yang menaungi state lain, sehingga menjadikan kegembiraan yang tadi muncul tak utuh lagi.

Contoh lain, seseorang takut naik pesawat. Takut, adalah primary state. Namun karena ia sering diejek oleh kawan-kawannya, maka ia seringkali malu terhadap rasa takut naik pesawat. ‘Malu’ adalah meta state terhadap state ‘takut’.  Nah, dalam kondisi demikian, ia memiliki rasa takut yang tak utuh lagi, sebab rasa malu itu. Jadilah ia memberanikan diri untuk naik pesawat.

Menurut NS, meta state, sebab ia menaungi state lain, memiliki kemampuan untuk mengubah state yang dinaungi. Maka alih-alih hanya mengubah representasi internal menggunakan submodalitas, ubah atau tambahkan saja meta state. Misal, seseorang malas belajar. Tambahkan meta state ‘khawatir’ dengan rasa malas itu, sebab bisa jadi tidak lulus ujian, maka seketika rasa malas tadi telah menurun khasiatnya.

Maka self actualizer, adalah ahli dalam mengotak-atik makna yang mereka miliki dalam diri. Tanpa sadar, kita mungkin belajar makna-makna yang menghambat dan ia tertanam sedemikian dalam. Menggunakan pemahaman kita tentang meta state, kita bisa mengubahnya sehingga membebaskan potensi dalam diri menuju aktualisasi diri.

Contoh, seorang karyawan ditawari untuk menjadi kepala cabang di kota lain. Ia bimbang, sebab khawatir belum mampu menjalankan peran tersebut dengan baik. Nah, kekhawatiran ini adalah state yang menghambatnya untuk segera mengambil keputusan. Jika ditelusuri, rupanya ‘khawatir’ ini muncul sebab ia memegang sebuah makna bahwa ‘kepala cabang itu jabatan berat, dan kalau gagal risikonya dipecat’. Ia pun terkejut dengan darimana makna serupa ini ia pelajari. Dan menyadari hal ini, ia bertanya dalam diri, “Adakah gunanya kalau saya terus berpikir seperti itu? Bukankah ada banyak kepala cabang yang awalnya dari staf dan sukses? Mengapa saya hanya fokus pada yang gagal, yang jumlahnya tak seberapa?” Maka ia putuskan untuk mencari dan meyakini makna baru yang memungkinkannya untuk lebih yakin mengambil keputusan, seperti, “Orang lain bisa, saya juga bisa. Peluang ini datang bukan saya yang minta, artinya saya telah dianggap mampu, mengapa saya malah tidak percaya pada kemampuan saya. Berapa tahun saya jadi karyawan juga sering gagal, dan saya belajar banyak untuk memperbaiki, mengapa kali ini tidak saya lakukan hal yang sama.” Menginternalisasi kesemua makna baru ini membuat ia lepas dari belenggu kebutuhan rasa aman yang berlebihan. Ia bisa mengatakan cukup pada rasa aman yang lalu, dan memeluk ketidakpastian masa depan yang menjanjikan pertumbuhan dirinya.

Selesaikah?

Tentu belum. Sebab ini baru perbaikan dalam ranah pikiran. Aktualisasi diri memerlukan pertemuan makna dan kerja. Maka setelah pikiran jernih, tak terbelenggu, saatnya menyusun rencana kerja dan mengerjakannya dengan sungguh-sungguh.

Hall menerangkan model Aktualisasi Diri ini dalah 3 bagian besar: Construct, Crucible, dan In the Zone. Insya Allah akan saya bahas dalam artikel-artikel selanjutnya.

Spread the love

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *