NLP, salah satunya didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari struktur dari sebuah perilaku. The structure of subjective experience. Maka yang diincar oleh seorang praktisi NLP adalah pola-pola perilaku, alih-alih ‘isi’ atau penyebab dari perilaku tersebut.
Pada seseorang yang curhat dengan berkata, “Caranya berbicara membuatku kesal deh!”, praktisi NLP tidak akan bertanya, “Memangnya dia bicara apa? Kapan dia bicara itu? Mengapa dia bicara seperti itu?”, melainkan akan bertanya, “Bagaimana cara dia bicara, bisa memicu rasa kesalmu?” atau “Bagaimana kamu memunculkan rasa kesal setelah melihat caranya berbicara?”
Bisa menandai bedanya?
Pertanyaan jenis pertama fokus pada ‘isi’ dari sebuah kejadian, sedang pertanyaan jenis kedua—pertanyaan khas dalam NLP—fokus pada ‘struktur’ dari kejadian. Yakni, bagaimana kah cara seseorang berbicara, dapat memicu reaksi kesal? Bukankah rasa kesal itu ada dalam diri kita? Bukankah orang itu tidak menyentuh atau memegang remote atas diri kita? Lalu bagaimana perilakunya yang hanya kita lihat saja, mampu memicu perasaan kita? Bukankah perasaan kita ada dalam kendali kita? Lalu bagaimana cara kerjanya perilaku orang lain dapat memegang kendali atas perasaan kita?
Begitu lah kira-kira. Untuk memahami hal ini, kita memang perlu meninjau ulang pelajaran tentang submodalitas. Jadi, silakan merujuk kesana ya.
Lalu, apa hubungannya dengan coaching?
Ya, coaching pun sejatinya berurusan di ranah yang sama, ranah struktur alih-alih isi. Sebab seorang klien dalam coaching, diyakini adalah individu yang sehat secara psikologis dan sudah memiliki alternatif sumber daya yang dapat ia gunakan untuk mencapai tujuannya. Maka ia tak banyak memerlukan tambahan informasi baru (jika masih perlu tambahan banyak informasi, maka sebenarnya belum bisa menjalani coaching). Lalu mengapa ia memerlukan seorang coach?
Sebab sumber daya tersebut kerapkali tersembunyi, tertutup, tertahan, atau masih dalam bentuk bahan mentah yang belum terolah. Dan fungsi seorang coach lah untuk memfasilitasi klien dengan berbagai pertanyaan yang memungkinkan klien menemukan atau merangkai sendiri sumber daya yang ada hingga menjadi solusi atas pertanyaanya.
Dari kaca mata NLP, kondisi ini berarti seseorang sudah memiliki ‘isi’ yang ia perlukan, namun memerlukan ‘struktur’ yang tepat agar ‘isi’ tersebut terlahir sebagai solusi. Bertemuanya ‘isi’ dengan ‘struktur’ ini lah yang kerap kita sebut sebagai ‘aha moment’. “Kan udah tahu dari dulu ya, kok baru nyadar sekarang?” adalah salah satu kalimat yang kerap keluar dari seorang klien setelah merenungkan pertanyaan jitu dari sang coach.
“Mas, kemarin saya bertemu seseorang. Kami berdiskusi cukup panjang. Dia curhat banyak, hingga menangis, yang berakibat keluarnya cairan ingus,” cerita seorang kawan. “Nah, sampe sekarang bayangan tentang dia yang ingusan itu masih terbayang-bayang dan membuat saya agak geli. Bagaimana menghilangkannya ya?”
“Jadi Bapak mau menghilangkan bayangan tentang kawan yang ingusan kemarin itu ya? Yang berakibat munculnya rasa geli?” tanya saya.
“Ya, benar.”
“Sebenarnya, bayangan tentang kawan yang ingusan itu, milik siapa?”
“Ya, milik saya.”
“Ada dalam pikiran siapa?”
“Ya, dalam pikiran saya.”
“Lalu siapa yang mampu mengendalikan pikiran Bapak?”
“Saya sendiri.”
“Lalu bagaimana pikiran itu bisa masih ada, sementara Bapak bilang ingin menghilangkannya, padahal Bapak barusan bilang Bapak lah yang mampu mengendalikan pikiran Bapak?”
Ia pun tersenyum, “Hehe.. benar juga ya?”
“Masih ada Pak, bayangannya?”
“Masih ada sedikit.”
“Memang sengaja masih mau disisain?”
Ia pun tertawa geli, “Nggak.. nggak.. sudah hilang.”
Secara proses, dialog di atas masuk dalam kategori coaching. Dan yang saya gunakan hanyalah berbagai racikan pertanyaan ala NLP yang muncul secara intuitif. Saya tidak bermaksud melakukan coaching secara formal. Maka NLP, memang coaching banget.