Passion

Beberapa tahun belakangan, kata passion menjadi tren yang gemanya cukup kencang. Satu sisi, ajakan untuk mengenali passion. Sisi lain, keinginan individu untuk menjalani hidup sesuai passion. Saya sendiri termasuk pendukung setiap orang yang ingin menemukan dan menjalani kehidupan sesuai dengan passionnya. Sebab passion, dalam definisi yang saya yakini, adalah sebuah cetak biru kehidupan yang Tuhan titipkan pada tiap manusia, untuk menjalankan perannya. Setiap orang memiliki tugas, khalifah. Maka tak ada orang yang tugasnya sama persis. Setiap orang memiliki tugas yang mesti diselesaikan, dan salah satu cara untuk mengenali tugas kita adalah mengenali aktivitas yang menimbulkan gairah untuk melakukannya. Passion.

Hanya saja, saya pun agak gelisah dengan pemahaman sebagian kawan yang menurut hemat saya terlalu ‘mendewakan’ passion. Ada pula sebagian lain yang mengganggap passion sebagai sesuatu yang pasti menyenangkan. Akibatnya, ketika sebuah aktivitas atau pekerjaan mengandung hal yang kurang mengenakkan, seketika ia mengatakan bahwa itu bukanlah passionnya. Akhirnya, kaburlah makna passion, dan bercampur dengan kesukaan semata.

Passion, dalam bahasa yang mudah, saya definisikan sebagai sesuatu yang rela kita lakukan dengan penuh gairah dan kesungguhan, meski belum jelas hasilnya, meski tak dibayar. Maka passion, tak mesti menyenangkan. Bahkan, kerapkali ia justru teramat menantang dan memerlukan banyak pengorbanan. Maka kata kesungguhan menjadi kunci. Sesuatu yang menjadi passion, meski dalam menjalaninya penuh onak dan duri, kan dilalui dengan ketekunan dan gairah. Jika tersebab tak mendapat penilaian positif, atau tak mendapat imbalan, semangat kita runtuh untuk terus menjalaninya, niscaya itu bukan passion.

Ada sebuah kalimat dari Victor Frankl, psikiater kenamaan itu, yang selaras dengan definisi passion yang saya tulis di atas. Ia memang tak eksplisit menyebut kata passion, melainkan menggunakan kata mission. Misi hidup, ungkap Frankl, sejatinya adalah hasil dari proses pencarian ke dalam diri, alih-alih sebuah proses penciptaan. We detect, rather than invent, our mission in life.

Apa yang dideteksi? Ya passion ini lah. Sebuah kecenderungan, cetak biru yang Tuhan desain untuk diri ini. Berdasarkan pemahaman dan penelusuran atas cetak biru ini lah, kita kemudian mendesain masa depan. Sebab didasarkan pada apa yang memang didesain untuk kita, maka kemungkinan besar misi yang ditetapkan akan terwujud.

Apa pasal?

Ya karena kita akan rela menjalani prosesnya, apapun tantangan yang mesti dihadapi. Jika sebuah misi tak didasari atas passion, atas cetak biru, ia cenderung lemah, sebab kita akan mudah menyerah. Sisi lain, tersebab passion adalah cetak biru diri kita, maka ia lah kekuatan/kelebihan yang Tuhan anugerahkan bagi diri kita. Sebagaimana kita tahu, era psikologi kini telah menemukan bahwa yang perlu kita lakukan untuk menjalani pertumbuhan dan meraih kebahagiaan adalah ‘develop your strength, compensate your weakness’, mengembangkan kekuatan dan mengkompensasi kekurangan. Bukan dibalik. Sebab kekurangan kita, memang adalah ruang bagi orang lain untuk mengisinya. Sedang kelebihan kita, justru adalah ruang yang harus kita isi, ruang yang menjadi tugas kita untuk menunaikan amanah di dalamnya.

Sampai di sini, saya ingin mengatakan bahwa kita perlu menelusuri passion. Dan passion, hanya ditemukan lewat penelusuran penuh ketekunan. Saya mendapati beberapa orang yang baru menemukannya secara nyata di usia 40an, meski tak jarang juga yang telah menemukan sejak muda. Kita tak pernah tahu kapan Tuhan akan membukakan jalan kita.

Sisi lain, ada bahaya memang, jika seseorang—atau banyak orang—tak mendapati passionnya. Orang-orang yang tak menjalani passionnya, mungkin akan mudah mengeluh dan tak optimal menjalankan tugasnya. Akhirnya, ia tak produktif, malas, bahkan berpotensi mengganggu kinerja orang lain. Mereka yang menjalani hidup berdasar passion, adalah mereka yang rela berkorban, mengerjakan lebih dari yang diminta, sebab kontribusi lah yang jadi tujuan, bukan semata penghargaan orang lain.

 

 

Spread the love

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *