Beruntunglah insan yang tekun memperbaiki diri dari hari ke hari.
Ya, sebab telah menjadi hukum alam bahwa tubuh ini meluruh, menua, tak bisa ditolak sedikit jua. Padahal tugas hidup tak pernah berhenti, pada tiap detik ada tanggung jawab yang mesti ditunaikan. Lalu bagaimana kah diri bisa terus menunaikan kewajiban ini, sementara penuaan terus terjadi?
Jawabnya ada pada sabda Sang Nabi. Bahwa sesiapa yang hari ini lebih baik dari hari sebelumnya, ia adalah orang yang beruntung. Sedang ia yang hari ini sama dengan kemarin, berarti merugi. Dan yang lebih mengerikan adalah yang terakhir, yakni ia yang hari ini lebih buruk dari kemarin, berari terlaknat.
Maka agama ini sungguh adalah agamanya orang-orang yang gemar memperbaiki diri. Kaizen yang dibudayakan oleh orang Jepang itu, sungguh lebih layak tuk kita miliki. Karena tubuh terus menua, hingga mati pada akhirnya, maka tiap detik adalah pacuan kuda, yang amal kita dipertaruhkan di dalamnya. Tanpa perbaikan, takkan ada keunggulan. Lalu darimana datangnya keberhasilan jika tak tampak keunggulan?
“Aku tahu bahwa perbaikan terus-menerus itu mesti. Tapi bagaimana kah caranya?” demikian tanyamu barangkali.
Kaidahnya sederhana, menjalankannya perlu kesungguhan. Ia lah senantiasa menetapkan standar yang melampaui diri ini.
Jika kemarin telah berhasil mencapai 100, maka hari ini mestilah minimal 101. Dan besok usahakan ia 102. Lalu satu bulan lagi 130.
Pernah ku bertanya pada seorang guru, bagaimana ia bisa menuliskan ilmu sedemikian banyak. Karyanya hingga kini telah mencapa lebih dari 50 buah perkiraanku. Kesemuanya ia tulis dalam 20an tahun belakangan. Ya, bukan sejak usia muda, sebab usianya kini sekitar 60 tahunan.
Resepnya sungguh sederhana, “Saya selalu meluangkan waktu 30 menit tiap hari untuk menulis. Meski itu hanya kadang menghasilkan 1 halaman saja. Menulis apapun yang terpikir, di media apapun, meski ia hanya sebuah diagram di selembar kertas tisu.”
Ya, coba saja hitung. Jika 1 halaman tiap hari, maka 360 halaman tiap tahun. Jumlah tersebut telah bisa menghasilkan 1-2 buku. Dalam 25 tahun tentulah terlahir 50 buku.
Lalu kusimpulkan, bahwa angka 100, 101, 102, 130 di atas tadi tidaklah soal hasil akhir, melainkan soal ketekunan proses. Sebab hasil hanyalah dampak dari tindakan. Ada tindakan yang lahirkan hasil, terus meningkat, namun kan berhenti di satu titik stabil. Tak sanggup melampauinya.
Pada momen inilah, diri ini mesti menengok pada perbaikan proses. Tindakan apa lagi kah yang lebih baik dari ini? Siapa kah yang telah melampaui titik ini, dan apa saja tindakannya yang berbeda?
Lalu pasanglah kembali standar yang melampaui diri.
Aku gemar menulis. Dan kusadari, ketika kecepatanku menuangkan pemikiran melambat, itulah tanda asupan gizi pengetahuan dan pemahamanku berkurang. Maka kuhentikan menulis itu sementara, untuk kuganti waktu yang sama dengan membaca, menelaah, menyimak, merenung. Lalu tetiba hidayah datang tanpa bisa dibendung. Aliran pemahaman dan pengetahuan datang kembali tuk dituangkan.
Sungguh Dia mencintai yang sedikit namun tekun dikerjakan.
sangat bermanfaat pak