Yang Membersamai Kesulitan

“Kesulitan adalah pertanda lahirnya peluang perbaikan, pembelajaran, pertumbuhan, perkembangan.”

“Sesungguhnya bersama kesulitan, ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan, ada kemudahan. Apabila kamu telah selesai mengerjakan suatu urusan, maka tetaplah bekerja keras untuk urusan berikutnya.” (Asy Syarh: 5-7)

Kesulitan, sejatinya adalah sebuah kata yang dilekatkan pada kejadian. Sedang kejadian itu sendiri, netral adanya. Perubahan peta kompetisi di industri, misalnya, yang mengakibatkan penjualan tersendat, hanyalah kejadian. Sebagian mendapat kerugian, tak sedikit yang mendapat keuntungan. Ia bisa menjadi kesulitan atau kemudahan ketika dimaknai demikian. Sebab kenyataannya, betapa banyak lahir peluang yang kini kita nikmati sebagai kemudahan, pada masanya dipandang sebagai kesulitan.

Lalu apa kah sejatinya kesulitan itu?

Mari kita lihat kata lain yang kerap diasosiasikan padanya: masalah. Ya, tiap masalah kerap dipandang sebagai kesulitan. Sementara dunia ilmiah sejatinya telah mendefinisikan masalah sebagai kesenjangan antara kondisi yang diinginkan—ideal—dengan kondisi yang ada saat ini. Aku berharap tadi pagi bisa berangkat kerja naik ojek agar cepat, namun nyatanya hujan melanda, maka hadirlah masalah dalam benakku.

Didefinisikan demikian, maka sejatinya masalah dengan cepat bisa dihilangkan, dengan setidaknya dua cara. Pertama, mengganti keinginan. Kedua, dengan mengubah kondisi yang ada. Fokus mengubah salah satunya, niscaya masalah setidaknya mulai berkurang. Namun fokus pada kesenjangan keduanya, maka masalah sungguh tampak demikian pelik.

Yang menarik dicermati, pada kedua cara tersebut, dikehendaki satu hal yang sama. Ia lah perubahan. Dan perubahan, bisa dimaknai sebagai perkembangan, pertumbuhan, kemajuan. Bukankah ketiadaan perubahan berarti stagnasi, kemandegan? Dan pertumbuhan, perkembangan, kemajuan, pastilah terjadi dengan meninggalkan apa yang tetap dan telah ada, menuju apa yang baru, yang belum ada.

Maka sungguh benar firmanNya, yang dikuatkan dengan kata ‘sungguh’, bahwa bersama kesulitan ada kemudahan. Bukan setelah. Bukan nanti. Bersama. Artinya, kemudahaan itu telah ada, peluang itu telah tersedia. Dan munculnya kesulitan adalah tanda kan lahirnya sesuatu yang baru, yang berbeda.

Dengan demikian, fokusnya diri ini pada kesulitan, hingga menggelisahkan, adalah tanda masih tertabirnya kemudahan. Ia telah tersedia, mengapa diri ini tak sanggup melihatnya, mengenalinya? Cahaya itu ada, diri inilah yang kerap masih menutup mata. “Aku sudah membuka mata,” katamu, maka sibaklah tirai, bukalah jendela.

Kemudahan itu ada, telah tersedia, menunggu tuk dibuka. Maka sibaklah hijab yang menyelimuti diri, lepaskan apa yang lampau, rasakan apa yang ada, sambut apa yang kan  lahir darinya.

Bersama kesulitan ada kemudahan, dikatakan dua kali, sebab tabiat insan tak yakin dengan apa yang tak dilihatnya. Yang di depan mata kesulitan, itulah yang tampak, sedang kemudahan, yang ada di sebaliknya, tak segera tampak. Diri ini perlu membuka mata beserta lapisan-lapisan ruhaninya. Mata yang bukan mata fisik, melainkan mata hati. Penutup mata perlu disibak, yang ia berupa pikiran serta perasaan yang menghijabi kita dari kebenaran.

Maka kesulitan, bagi pribadi produktif, adalah pertanda lahirnya peluang perbaikan, pembelajaran, pertumbuhan, perkembangan. Ialah petunjuk perlunya mengesampingkan pengalaman, dan belajar dari keadaan.

Spread the love

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *