“Kala ilmu bertemu situasi, ia bekerja memunculkan ilmu baru.”
Dalam tulisan sebelumnya, “Pentingnya Bertemu”, kutulis pemahaman yang kudapat bahwa pikiran kita dibatasi oleh kemampuan untuk menangkap pemahaman. Dirunut ke belakang, ia disebabkan oleh kecenderungan alamiah pikiran kita untuk menyeleksi informasi yang diterima. Sebab tak semua informasi memang bermanfaat seketika, maka pikiran kita dikaruniai keterampilan untuk memfilter apa yang sampai, dan menyeleksi apa saja informasi yang dianggap penting untuk diingat saat ini.
Proses penyeleksian inilah yang menjadi dasar sebuah nasihat, peta bukanlah wilayah yang sebenarnya, persesi bukanlah realita apa adanya. Realita itu ada. Kebenaran itu ada. Namun pikiran ini memiliki keterbatasan untuk seketika memahami keseluruhan hakikatnya.
Tersebab itu, jika diri ini ingin memahami realitas sedekat mungkin, kita perlu menelaah pemahaman demi pemahaman yang telah kita miliki. Adakah ia telah lengkap dan membantu, atau ia menghambat kita saat ini. Mungkin sebuah pemahaman berdampak baik pada masa lalu. Namun kala situasi berubah, ia sungguh perlu diperbarui. Sebagaimana peta yang perlu terus-menerus diperbaiki, bahkan dalam hitungan hari. Ia tetap peta, bukan realita, namun kepentingan kita untuk terus-menerus berusaha mendekatkannya dengan realita. Peta Bandung pada tahun 70an, jelas tak lagi relevan tuk digunakan di era sekarang. Sebagaimana peta era sekarang, takkan lagi tepat menggambarkan situasi yang terjadi 20 tahun mendatang. Salah menggunakan peta berarti tersesat.
Sebuah pemahaman, adalah buah dari pohon pemikiran yang kita tanamkan. Saat pikiran diarahkan pada satu titik, ia kan membuahkan pemahaman melalui titik itu. Menariknya, kala ia diarahkan pada titik lain, titik lain itu lah yang kan lahirkan pemahaman baru, yang berbeda dari titik sebelumnya. Jadilah satu demi satu, pemahaman terlengkapi, serupa batu bata yang menumpuk dan mendirikan bangunan kokoh.
Nah, di artikel sebelumnya, kuuraikan bahwa ada jenis pemahaman yang hadirnya melalui interaksi kita dengan orang lain. Dalam diskusi, kita saling melengkapi.
Sisi lain, ada lagi jenis pemahaman yang hanya bisa lahir kala sebuah ilmu dipraktikkan. Ya, tak sekedar didiskusikan, melainkan diaplikasikan. Kala ilmu bertemu situasi, ia bekerja memunculkan ilmu baru. Sebab salah satu tabiat ilmu ialah mengisi ruang yang kosong, yang berukuran tepat seperti dirinya. Persis serupa bahan bakar yang mengisi ruang kosong tangki kendaraan. Bahan bakar yang tepat kan menjalankan mesin, bahan bakar yang salah tak menggerakkannya. Ilmu yang tepat menghadirkan inspirasi dan energi tuk bergerak. Dan ketika bergerak, ia lahirkan hasil, yang notabene adalah ilmu baru lagi. Namun ilmu baru dari hasil ini lahirnya ya dari gerak. Jika tak bergerak, ia tak muncul.
Maka insan produktif, adalah mereka yang rindu mengamalkan ilmunya. Sebab guna ilmu adalah bahan bakar penyelesaian masalah. Jika ilmu sudah tersedia, bagaimana ia bisa digunakan tuk menyelesaikan masalah? Ya digunakan, diamalkan, diaplikasikan. Kita tak pernah tahu sampai kita mencoba sesuatu. Rasa manis tak bisa diceritakan. Ia hanya bisa dirasakan, ketika dialami. Saat kue menyentuh lidah, itulah tanggal lahirnya pemahaman akan rasa manis. Segunung buku penjelas rasa manis takkan bisa menggantikan pemahaman rasa manis yang lahir saat persentuhan kue dengan lidah itu.
Amalkanlah ilmumu, wahai diri, tuk hasilkan sesuatu, selesaikan masalahmu. Darinya kan lahir jutaan pemahaman baru.