“This ummah doesn’t stand for mediocrity.”
Ustadz Nouman Ali Khan
Ya. Telah difirmankanNya bahwa kita diciptakan dalam sebaik-baik bentuk, sesempurna-sempurnanya ciptaan. Bukan berarti tidak punya kekurangan, melainkan diri ini telah dianugerahkan potensi yang siap untuk digunakan memproduksi kebaikan-kebaikan. Maka sungguh tak mengherankan ketika kita tengok sejarah panjang, nama-nama emas nan gemilang berjajar dari dekade ke dekade, dari abad ke abad. Pun di era ketika kita tak sedang berjaya ini, nama-nama itu tak surut lahir dari pelosok penjuru dunia.
Apa pasal?
Karena umat ini, nasihat Ustadz Nouman Ali Khan, tidak menolerir kerja yang hanya rata-rata. Bagaimana mungkin insan beriman kerja hanya ala kadarnya, sementara 6 pilar keimanannya saja sudah tak memungkinkannya demikian?
Kita mengimani adanya Allah, yang Mahabesar, hingga tak layak kita merasa lemah jika berjalan menujuNya.
Kita mengimani adaya malaikat, hingga kita selalu cemas dan penuh harap, sebab tiap tindakan kita dicatat atas perintahNya.
Kita mengimani kenabian Muhammad saw, hingga jelas dan terang bagaimana kah sosok yang sukses multidimensi itu.
Kita mengimani Al Qur’an, hingga tak ada satu pun persoalan yang tak bisa kita tak ambil inspirasi penyelesaiannya dari sana.
Kita mengimani hari akhir yang niscaya namun datangnya tak pasti, hingga senantiasa lah bersiap-siap menghadapi dan menambah perbekalan diri.
Kita mengimani qadha dan qadhar, hingga tenteram hati, sebab semua telah tergariskan di catatanNya, hingga hikmah lah yang kita incar dalam tiap peristiwa.
Ya, bagaimana mungkin kita kerja ala kadarnya jika ini yang kita gaung-gaungkan di kepala dan di dalam dada?
Belum lagi 5 pilar keislaman yang jelas nyata hanya bisa dikerjakan jika penuh kesungguhan.
Kita bersyahadat, sebab penyerahan diri sepenuhnya itu perlu dideklarasikan secara jelas dan nyata.
Kita shalat, tuma’ninah dan khusyuk, mengusahakannya di awal waktu dan berjamaah, yang jelas tak mudah jika tanpa kesungguhan. Belum lagi jika ditambah yang sunnah.
Kita berzakat, yang perlu memantaskan diri agar jatuh kewajiban atas diri. Kuat secara ekonomi agar masuk golongan ini.
Kita berpuasa, minimal 1 bulan dalam setahun, yang nyata-nyata berat bagi yang tak serius ingin menyucikan diri.
Kita berhaji, yang memerlukan kesungguhan dana, waktu, tenaga, jauh-jauh tahun sebelum ia benar-benar dijalankan.
Ya, bagaimana mungkin kita kerja ala kadarnya jika ini yang wajib kita lakukan jika masih ingin terdaftar sebagai seorang muslim?
Lalu ihsan. Keyakinan bahwa kita beramal sebab melihatNya, atau merasa senantiasa diperhatikan olehNya. Bagaimana mungkin kerja ini asal-asalan jika Sang Maha memperhatikan? Padahal bos duduk di samping saja telah menghadirkan ketekunan yang tiba-tiba. Ini bukan bos. Ini Sang Pencipta.
Ya, benar. Umat ini tidak menolerir kerja ala kadarnya. Kerja yang asal jadi saja. Maka ingatlah kita pada ayahanda dari Buya Hamka, Haji Abdul Malik Amrullah, yang kebiasaan beliau menurun pada anaknya. Bahwa bermodal sebuah pertanyaan dari seseorang, lahirlah sebuah buku sebagai jawabannya. Betapa berkah ilmu dan waktunya.