“Tindakan ke luar lahir dari keselarasan di dalam.”
Adalah Robert Dilts, seorang pakar ilmu pengembangan diri bernama Neuro-Linguistic Programming (NLP) yang menyusun sebuah model untuk melakukan refleksi diri. Model itu bernama Neuro-Logical Level (NLL). Singkat cerita, menurut Dilts, pikiran manusia tidak satu jenis, melainkan memiliki lapisan-lapisan yang satu sama lain saling mempengaruhi.
Level paling dasar adalah Lingkungan. Yakni, memikirkan apa yang ada di luar diri. Banyak di antara insan yang frustasi, sebab pikirannya fokus pada apa yang ada di luar diri. Sementara yang ada di luar diri, tak bisa dipengaruhi secara langsung. Tak ada yang salah dengan keinginan menciptakan perubahan, namun jika hanya itu yang jadi fokus energi, yang kan lahir hanyalah frustasi.
Solusinya, menurut Dilts, adalah dengan mengalihkan fokus ke dalam diri. Apa yang bisa mengubah atau setidaknya secara bertahap mempengaruhi lingkungan di luar diri? Ia lah tindakan alias perilaku kita. Maka alih-alih terus-menerus mengeluhkan keadaan, baiknya kita alihkan fokus dengan bertanya pada diri, “Apa yang bisa kulakukan dalam keadaan ini? Apa tindakanku yang jika kulakukan secara konsisten, mungkin secara perlahan akan berdampak pada lingkungan?”
Aku teringat sebuah nasihat yang diberikan seorang salesman senior pada juniornya. “Target itu jangan cuma dipikirin, tapi dikerjain.” Ya, target penjualan tinggi memang kerap menghadirkan kecemasan. Tapi jika dikerjakan satu demi satu, ia kan tercapai juga pada waktunya.
Nah, bagaimana jika perilaku itu sendiri, kalau coba dikerjakan, masih terasa berat, atau belum menghadirkan dampak yang signifikan?
Maka menurut skema NLL, tengoklah pada apa yang mempengaruhi perilaku. Ia lah kemampuan. Ya, tindakan kita amat bergantung pada ilmu yang kita miliki. Abraham Maslow pernah berkata, “Jika yang dimiliki hanya palu, maka semua hal akan tampak seperti paku.” Beratnya kita melakukan sebuah tindakan, atau habisnya ide kita untuk melakukan tindakan, adalah tanda-tanda perlunya me-upgrade diri dengan pengetahuan-pengetahuan baru. Maka tanyalah pada diri, “Ilmu baru apa yang bisa kupelajari? Keterampilan baru apa yang perlu kupertajam? Pada siapa aku bisa mempelajarinya?”
Kadang, ilmu baru sudah diketahui, namun diri masih ragu dan terhambat mempraktikkannya. Wajar, sebab sesuatu yang baru memang menghendaki diluruhkannya sesuatu yang lama. Aplikasi baru di smartphone pastilah akan ‘menimpa’ versi lamanya. Dan itu tidak mudah, niscaya menimbulkan ketidaknyamanan. Apa sebab?
Karena dalam diri ada keyakinan lama. Keyakinan bahwa cara lama mungkin masih bisa dipakai. Keyakinan bahwa cara baru belum terbukti. Keyakinan bahwa perubahan itu menyakitkan. Dan seterusnya. Maka keterampilan baru, pasti menghendaki keyakinan baru. Tanyakanlah, renungkanlah ke dalam diri, “Keyakinan lama apa yang menghambatku? Keyakinan baru apa yang perlu kumiliki?” Untuk yang kedua ini, kita bisa belajar dari orang lain yang lebih dulu menguasai kemampuan yang kita miliki.
Jika keyakinan baru sudah ada namun belum sulit menginternalisasikannya, maka tengoklah kembali lebih dalam. Sebab ada jenis keyakinan yang lebih dalam, yang saking dalamnya, kerap tidak dipertanyakan lagi, dan dijalani begitu saja. Dilts menyebutnya dengan identitas diri. Cara kita memandang diri kita sendiri. Sulit aku duduk menyimak seseorang, jika memandang diriku lebih pandai daripadanya. Untuk bisa menyimak, aku perlu melihat diriku sebagai murid yang rindu belajar. Sulit bagi seseorang menjadi pengusaha, jika memandang dirinya sebagai karyawan yang menunggu disuruh-suruh. Ia mesti melihat diri sebagai orang yang memang mengusahakan keberhasilan bagi diri dan karyawannya. Untuk sampai pada tahapan ini, renungkanlah, “Bagaimana aku melihat diriku sendiri? Seperti apa caraku melihat diri? Adakah cara pandang ini bermanfaat, atau sudah seharusnya kuperbaiki?”
Nah, terkadang, cara pandang diri sulit diubah, jika seseorang belum memahami tujuan terdalam dari diciptakannya diri. Inilah perenungan terdalam, yakni pertanyaan, “Untuk apa sebenarnya aku ada di sini? Apa tujuan keberadaanku? Mengapa aku diatur olehNya untuk ada di kondisi ini?” Inilah fokus yang disebut dengan spiritualitas, yakni penelusuran akan misi hidup. Karena tak satu pun diciptakan olehNya tanpa maksud, maka tiap keberadaan pasti memiliki tujuan. Dan kadang, tujuan ini terabaikan, terlupakan, atau bahkan belum pernah dipertanyakan.
Keselarasan antara level berpikir satu dengan yang lain menentukan apakah sebuah tindakan dapat dijalankan atau tidak. Jika ada sebuah rencana tindakan yang baik, namun kita masih terhambat menjalankannya, masuklah ke dalam, carilah jawaban di dalam.