“Tahukah kalian siapa orang yang rugi itu?” tanya Sang Nabi pada para sahabatnya, sebagaimana dituturkan oleh Abu Hurairah dan dinilai shahih oleh Imam Tirmidzi.
“Orang rugi di antara kami, wahai Rasulullah, adalah orang yang tidak memiliki dirham dan barang,” jawab sebagian dari mereka.
Beliau saw pun melanjutkan, “Orang yang rugi di antara umatku adalah orang yang membawa shalat, puasa, dan zakat pada hari kiamat. Ia datang sementara ia dahulu pernah mencela si Anu, menuduh berzina si Anu, memakan harta si Anu, menumpahkan darah si Anu, dan memukuli si Anu. Ia duduk lalu kebaikan-kebaikannya di-qisas-kan dari kebaikan-kebaikan (orang yang telah didzalimi)-nya. Bila kebaikan-kebaikannya habis sebelum sepadan dengan kesalahan-kesalahannya, kesalahan-kesalahan mereka (orang yang pernah didzalimi) diambil, lalu ditimpakan kepadanya, setelah itu ia dilempar ke neraka.”
Mengejutkan, bukan?
Ketika kata rugi disebut, niscaya kebanyakan orang kan terpikir tentang bisnis atau perdagangan. Namun rupanya itu bukan kerugian sejati. Sebab kerugian dalam bisnis, adalah kerugian yang bersifat sementara. Ia mungkin menyusahkan yang mengalaminya kala di dunia, namun dampaknya ya hanya di dunia itu lah. Ketika seseorang bangkrut bisnisnya, misalnya, lalu ia meninggal dunia saat itu, maka berhentilah kerugian yang dideritanya.
Maka Rasulullah saw mengingatkan kita akan adanya kerugian yang hakiki. Inilah jenis kerugian yang justru kerap tak terasa dampaknya kala nyawa masih di kandung badan, namun panjang ia di kesudahan. Kerugian ini bukan urusan materi, melainkan urusan yang justru urusan sehari-hari yang luput dari perhitungan untung rugi. Mencela, menuduh, mengambil harta, menumpahkan darah, menyiksa, dan beragam kedzaliman lain, adalah sedikit di antara perbuatan-perbuatan yang pelakunya amat jarang memperhitungkan itu sebagai urusan untung rugi. Dalam urusan mencela, misalnya, ia hampir-hampir dianggap sesuatu yang biasa.
Waspadalah, wahai diri, pada kerugian jenis ini. Sebab tidak saja kebaikan kita kan dilimpahkan pada penderita, keburukan mereka pun kan ditimpakan pada kita. Betapa rugi berlipat-lipat! Sungguh tak sebanding dengan ringannya lisan yang mencela dan menuduh. Bahkan tak sebanding dengan kepuasan kala menyakiti dan membunuh nan tak bersalah,
Tak mengherankan jika diam itu jauh lebih baik dalam kondisi tertentu. Karena diam bisa menyelamatkan lisan dari kecenderungan tuk mencela yang merugikan itu. Tak mengherankan pula jika orang terkuat adalah ia yang sanggup menahan nafsunya. Sebab pelampiasan dengan kesenangan amat sementara itu, sungguh bisa menghadirkan kerugian berkepanjangan.
Di titik ini, renung panjang pun terjadi. Betapa kerugian dalam ajaran Sang Nabi, bukanlah soal yang kasat mata. Padahal, betapa sering diri ini tergoda menangguk keuntungan sementara, dengan cara-cara yang menyakiti hati atau bahkan merampas hak orang lain. Sekilas, ia tampak menguntungkan, namun sejatinya yang kan dirasakan kelak hanyalah kerugian. Menggunakan data milik mantan perusahaan tanpa izin, mencela mantan atasan, mengumumkan aib orang lain di media sosial, bisa jadi adalah beberapa di antaranya di masa ini. Dan ia terasa amat ringan sebab semudah menjentikkan jemari.
Maka waspadalah, wahai diri, dari kerugian hakiki ini.