“Harta adalah alat. Tujuanlah yang jadikan ia manfaat.”
Harta adalah alat. Inilah kaidah dasar yang mesti diingat oleh tiap insan. Sebab harta itu sendiri tak bisa dengan sendirinya melahirkan makna, ia mesti dimaknai. Dan makna yang lahir dari harta, bergantung pada bagaimana ia didapat dan bagaimana ia digunakan.
Harta yang didapat dengan susah payah, meski jumlahnya tak banyak, kan hadirkan berjuta makna. Berkebalikan dengan ia yang didapat dengan mudah nyaris tanpa usaha.
Begitu pula dengan penggunaan. Harta yang digunakan untuk kemaslahatan di luar diri, kemanfaatan bagi orang banyak, memiliki kekuatan untuk melahirkan kebahagiaan dan kepuasan lebih tinggi. Berbeda jauh dengan ia yang hanya digunakan untuk kepentingan diri sendiri, apatah lagi jika foya-foya semata. Betul, ia bisa memicu kesenangan. Tapi kebahagiaan? Tidak.
Dilihat dari dua kaidah dasar ini, maka bermaknanya harta tak bisa tumbuh kala ia disimpan semata. Ketika harta didapat, ia memicu makna, namun kala ia didiamkan saja, tak dimanfaatkan, maka makna itu pun berhenti. Sebab ia alat, maka ia mesti digunakan. Ia harus bergerak, dinamis, tak boleh statis. Air yang menggenang tak membutuhkan waktu lama tuk jadi sumber penyakit. Namun air yang bergerak, ia tetap jernih, bahkan melahirkan energi.
Maka tabungan pun, tidak boleh menjadi sesuatu yang diam. Ia harus produktif. Karena selalu ada orang yang membutuhkan, maka harta terbaik adalah ia yang diinvestasikan.
Investasi? Bukankah sedekah lebih baik?
Ya, sedekah pun kan investasi. Ia investasi akhirat yang keuntungannya pasti didapat pada waktunya kelak. Namun kala dihadapkan pada sahabat yang memerlukan modal, sedang ia bukanlah seorang miskin, tak masalah kita berharap harta ini menjadi alat bantu baginya mengembangkan usaha. Sebab dalam usaha itu terkandung banyak kebaikan. Perusahaan adalah pipa rezeki bagi banyak orang. Ia yang dikelola dengan baik kan membesar dan tumbuhkan keberkahan.
Di luar itu, penggunaan harta tuk kesenangan pribadi bukanlah sesuatu yang dilarang. Namun pastikan, wahai diri, kesenangan itu pun ialah kesenangan yang menghasilkan.
Ah, ada kah kesenangan serupa itu?
Banyak!
Kesenangan pada hal yang benar, baik, dengan jumlah yang cukup, pasti kan jadikan diri ini produktif. Bagaimana tidak? Sedang beristirahat saja, yang jelas merupakan kesenangan, ketika dilakukan saat tubuh memerlukannya, lalu dicukupkan waktunya, kan lahirkan energi tuk bergerak kembali.
Itu baru soal istirahat. Padahal setidaknya kita memiliki 4 dimensi dalam diri: intelektual, sosial, spiritual, dan fisikal. Tiap kesenangan dalam keempatnya, punya potensi sebagai investasi.
Pada dimensi intelektual, alias pikiran, isilah ia dengan ilmu, dari bacaan maupun belajar pada guru. Cari ilmu yang menginspirasimu, menggerakkan jiwamu tuk menelaahnya. Sebaik-baik teori, ujar Kurt Lewin, adalah ia yang demikian praktis. Maka carilah ilmu yang bermanfaat tuk kehidupan sehari-harimu, agar kau pun bersemangat menelaahnya.
Pada dimensi sosial, alias perasaan, carilah kawan atau keluarga yang pertemuan dengannya kan melenturkan emosimu, menumbuhkan dirimu, menambah kapasitas dirimu. Berkumpullah dengan orang-orang shalih, ujar ulama. Sebab diam dan candanya sama-sama bermanfaat bagi kita.
Pada dimensi spiritual, alias jiwa, luangkanlah waktu khusus tuk bersendiri denganNya. Merasakan kehadiranNya, menyadari pengaturan dan pengawasanNya. Membiarkan diri larut dalam kasih dan sayangNya. Dia lah sumber segala, sering-sering bercengkerama serupa mengisi daya pada baterai.Jangan sampai kehabisan baru menghubungkan diri.
Pada dimensi fisikal, alias tubuh, gunakanlah harta tuk memastikan ia terawat senantiasa. Segar, bersih, indah, memadai tuk mengerjakan hal-hal yang berarti. Sebab tubuh nan sakit kan kesulitan bekerja meski niat membara. Isilah ia dengan makanan yang dampaknya baik tuk jangka panjang.