Inovasi Tak Lahir dari Penunda-nundaan

“Sejenak dalam keheningan, jauh lebih baik daripada berjam-jam dalam keramaian.”

Sebagian orang ada yang gemar mengulur waktu kala harus menyelesaikan sesuatu. Ditunda-tundanya kerja penting itu hingga batas akhir, barulah ia kerahkan segala daya tuk menuntaskannya.

“Ideku tak muncul jika belum terdesak,” demikian pembelaan yang kerap terucapkan.

Benarkah demikian?

Rupa-rupanya tidak.

Dalam keadaan terdesak, diri ini memang terdorong untuk mengeluarkan apa yang ada. Ya, apa yang ada. Apa yang telah tersedia, sehingga hasilnya adalah karya yang itu-itu juga. Sementara sesuatu yang baru, yang segar, yang kreatif nan inovatif, kiranya tak pernah lahir dari kondisi serupa itu. Selesai sih, namun hasilnya ya biasa saja. Tak ada yang istimewa.

Tengoklah para kreatif, insan produktif yang inovatif. Proses kreasi mereka lahir dari ketenangan, kekhusyukan, penyelaman, jauh meninggalkan yang permukaan. Tak ada karya besar lahir tiba-tiba. Ia berasal dari percobaan berkali-kali yang membutuhkan ketekunan luar biasa. Kegagalan tak pernah dianggap kesalahan, sebab ia lah landasan bagi karya besar yang menjelang tiba.

Sesejatinya waktu itu jumlahnya ya segitu. Tak pernah bertambah apalagi berkurang, selama dunia ini masih ada. Maka jumlah waktu adalah hal yang teramat bisa diprediksi. Mustahil ia lah penyebab diri ini tak bisa meluangkan tuk mengerjakan hal-hal yang berarti. Memang, kejadian mendadak dan di luar rencana selalu ada. Tapi cermatilah, adakah ia terjadi terus-menerus. Sedemikian seringnya hingga menghabiskan paling banyak waktu?

Harusnya tidak. Jika demikian adanya, maka pastilah ada yang salah di dalam. Ada sesuatu yang mendasar yang luput dari perhatian, dan karenanya mesti diperbaiki. Sakit sesekali itu wajar. Sakit terus-terusan, tandanya ada yang tak benar.

Maka insan produktif nan inovatif adalah ia yang cermat pada waktunya. Direncanakannya segala, agar tak ada yang tersia-sia. Lalu dijadwalkan lah aktivitas-aktivitas kunci yang memungkinkannya tuk menyelam dalam. Berpikir, merasa, meninggalkan permukaan. Menelaah, mengurai, menghubungkan, menyatukan, hingga lahirlah pemahaman-pemahaman baru. Ini sungguh memerlukan waktu. Aktvitas yang tak bisa diburu-buru.

Perhatikan pengaturan waktumu, wahai diri. Pastikan tersedia cukup setiap hari, waktu bagimu menyendiri. Merenungkan apa yang ada di balik kejadian, mengurai data-data, merangkai makna-makna. Lepaskan rutinitas sementara, biarkan dirimu bersentuhan dengan kenyataan yang sebenarnya. Lihatlah dengan kejernihan hati, dengarlah dengan kemurnian diri, terhubunglah dengan sumber yang sejati. Biarkan, biarkan pesan-pesan kehidupan menyampaikan maksudnya, dan biarkan tubuh dan pikiranmu mengerti.

“Berapa lama kah waktu yang kubutuhkan untuk melakukan ini setiap hari?” tanyamu.

Tak lama. Cukup 15-30 menit sehari, dengan kekhusyukan menelaah diri, jauh lebih bermanfaat daripada berjam-jam dalam keramaian. Rutinkanlah, catat, lalu telaah kembali. Niscaya puzzle kan tersusun, pelan tapi pasti.

Spread the love

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *