Kehidupan terus berjalan, dalam dimensi waktu yang tak pernah berhenti. Waktu melaju, sementara tugas tengah menunggu.
Kehidupan penuh dengan pekerjaan. Insan diciptakan tuk menjadi bagian dalam pengelolaan. Bekal telah disiapkan. Namun sebagaimana para pengembara, tak semua sabar mempergunakan bekal hingga sampai pada tujuan. Ada bekal yang dihabiskan dalam permulaan. Ada bekal nan tak terpakai hingga basi, sedang diri tak sampai pada nan diharapkan.
Maka sudah selayaknya kita melihat tiap manusia kan mampu mempersembahkan yang terbaik dari dirinya. Sebab bekal itu telah sempurna adanya. Bekal bernama potensi, atau bakat, pastilah ada dalam diri, lahir bersamaan dengan tubuh ini. Namun serupa bibit, ia hanya butiran tak berarti jika tak ditanam dalam tanah subur dan dirawat dengan ketekunan. Air, pupuk, sinar matahari dan beragam komponen lain, ketika rutin diberikan, kan mengubah butiran itu menjadi bentuk baru yang tak diduga-duga.
Bagaimana ketika bibit dibiarkan?
Ia mati. Diam. Dorman.
Tapi ada kemungkinan yang lebih buruk dari itu.
Tak perlu benda besar untuk membuat tubuh kita sakit. Cukup satu dua partikel kecil menyumbat saluran darah, misalnya, bisa berdampak amat fatal. Begitu pula pada mesin. Cukup sedikit endapan pada bensin, untuk menimbulkan efek mogok. Di jalanan Jakarta, sebuah mobil berhenti tanpa parkir dengan sempurna cukup pula untuk menghadirkan kemacetan berkilo-kilo meter panjangnya.
Simpulannya? Hambatan kecil berpotensi lahirkan dampak besar.
Lalu apa hubungannya dengan soal bakat dan potensi tadi?
Adalah Abraham Maslow, pelopor teori Hirarki Kebutuhan itu, yang menyebutkan bahwa kebutuhan tertinggi, yakni Aktualisasi Diri, ialah kebutuhan. Ya, kebutuhan, bukan keinginan. Sebagaimana kebutuhan lain, diri ini memerlukannya. Jika tidak dipenuhi, akan muncul dampak bagi ketidakseimbangan hidup.
Maka insan yang tak terpenuhi aktualisasi potensinya, kemungkinan akan goyah hidupnya. Dan ketika ia goyah, tak sempurna tak sempurna kerjanya. Ah, apa dampak tak sempurnanya pekerjaan? Ia menimbulkan gangguan. Betapa sering rombongan terlambat berangkat hanya karena satu orang tak disiplin dengan jadwal? Begitu pula tugas-tugas besar kehidupan, ia tak terselesaikan lantaran satu dua orang nan tak sanggup jalankan pekerjaan sesuai nan diharapkan.
Apa solusi dari kerja yang tak sesuai harapan?
Belajar. Berlatih. Menempa diri. Meningkatkan kapasitas.
Carilah ilmu, dari buaian hingga liang lahat. Demikian kita diajarkan. Tak ada batasan dalam belajar. Tak muda, tak juga tua. Yang dibutuhkan hanyalah pikiran yang terus terbuka. Keingintahuan yang terus membara. Ia telah ada. Ketika tidak digunakan? Sungguh berbahaya.
Orang tua yang berhenti belajar, kan mendidik dengan keterampilan yang tak sesuai dengan perkembangan anaknya. Suami yang tak lanjut belajar, tetiba kesulitan membangun komunikasi dengan istrinya. Pemimpin yang tak belajar, kan memimpin dengan keahlian yang usang dan menjenuhkan anak buahnya. Guru yang tak gemar belajar, kan mengajar dengan cara kuno dan tak menyentuh hati murid-muridnya. Karyawan yang tak senang belajar, kan bekerja dengan langkah-langkah nan tak selaras dengan arah organisasinya. Dokter yang tak terus belajar? Duh, nyawa taruhannya.
Ya, tak belajarnya kita, bukanlah semata urusan nasib diri. Ia pun berdampak pula bagi irama kehidupan di sekitar kita. Jika kita lambat karena tak menyelaraskan diri dengan perkembangan zaman, tetiba kita tak lagi relevan. Lalu hilang ditelan zaman.
Maka belajarlah terus, wahai diri, belajarlah. Dunia membutuhkanmu tetap selaras. Ada bagian tugasmu yang tak bisa kau lalaikan, atau kau jalankan ala kadarnya. Berikan yang terbaik, sebab ini bukan hanya soal peruntunganmu. Ini soal kehidupan yang kau layani.