“Jika tak menulis, jangan-jangan kita tak berpikir.”
Belajar diawali dengan menyimak. Ya, menyimak. Tak sekedar mendengar. Sebab mendengar hanya bisa selewatan. Sedang menyimak berarti memperhatikan tiap detil. Menandai apa nan penting-penting. Dengan menyimak kita kan tahu.
Namun tahu masih berjarak dengan mampu. Di tengah keduanya ada paham. Takkan terjadi mampu tanpa paham. Pemahaman, ia tak bisa dilewati. Sebab ia proses menata pikiran dalam diri. Agar pengetahuan menjadi milik kita, sesuai dengan sistem yang telah ada di dalam sini.
Lalu bagaimana datangnya pemahaman?
Dengan menceritakan kembali apa nan diketahui, apa nan berhasil kita tangkap kini. Prosesnya bisa dengan berbicara, menerangkan kembali, atau menulis. Pemahaman bisa dicek dengan cara ini. Jika rapi kita bicara, lancar ia tersampaikan, atau runut ia tertuliskan, baiklah tandanya. Namun jika terbata-bata, tak tentu arahnya, tak beraturan ujung dan pangkalnya, ialah berarti pikiran belum tertata.
Maka bicara, diskusi, menulis, ialah tiga aktivitas yang niscaya agar tercapai pemahaman. Apatah lagi keterbatasan pikiran kerap menyisakan lubang-lubang pemahaman, yang kan dilengkapi oleh pemahaman orang lain. Jadilah berinteraksi ialah kebutuhan pokok para pembelajar. Hanya saja, sebab tak setiap saat kita mendapati rekan bicara yang tepat, maka menulislah aktivitas yang krusial untuk menata pemahaman.
Tengoklah sejarah para ilmuwan. Insan-insan yang membenamkan diri dalam ilmu pengetahuan. Niscaya kita dapati mereka jadikan menulis kegiatan wajib. Dengan menulis, mereka berharap memperpanjang umur. Sebab penemuan yang tak sempurna kini dapat dilanjutkan nanti. Namun yang paling mendasar dari semua itu ialah, menulis ialah aktivitas yang memicu para pembelajar untuk berpikir.
Inilah sebab aku heran pada insan yang mengatakan gemar belajar, namun tak memiliki catatan. Tak menulis. Bagaimana ia memicu pikirannya? Bagaimana ia menata pemahamannya? Bagaimana ia mengevaluasi pembelajarannya?
Memang, ada kisah beberapa jenius yang jarang mencatat, lantaran dikaruniai ingatan yang demikian kuatnya. Namun bila kita renung-renungkan, sejatinya ia pun menulis. Menulis dalam pikirannya. Ia bicara dengan dirinya, mendudukkan pengertian pada tempat-tempatnya. Dan ini jelas kasus khusus. Tak terjadi pada orang kebanyakan. Kita-kita ini, perlu kertas atau komputer. Mencatat apa yang kita tahu, meletakkannya dalam bingkai pemikiran.
Jika tak menulis, jangan-jangan kita tak berpikir.
Ya. Ilmu masuk melalui indera, lalu lewat begitu saja. Bahkan bisa jadi tak tersisa. Tapi yang lebih mengerikan dari itu ialah tak kita gunakannya anugerah yang Tuhan berikan: anugerah kemampuan tuk berpikir. Jika tak berpikir, bagaimana hendak bertindak? Jikapun bertindak, adakah ia tindakan tak lahir dari pemikiran? Lalu bagaimana hasilnya jika demikian?
Jangan-jangan, ya, jangan-jangan, segala nasib yang terkeluhkan itu berpangkal dari sini. Diri yang tak menulis, tak benar-benar belajar. Dan diri yang tak belajar, tak benar-benar berpikir. Maka tindakannya, gerak dan langkahnya, mengalir begitu saja mengikuti godaan perasaannya, terbelenggu dengan apa yang ada di sekelilingnya.
Menulislah, wahai diri para pembelajar, tuk membangun pemikiranmu. Pemahamanmu. Agar tak tersia-sia tiap bagian ilmu nan sampai padamu. Dan tertuntun lurus langkah-langkahmu.