Rezeki yang Tak Dianggap

Pandemi Covid 19 ini menyisakan ruang kegalauan di banyak orang. Bisnis yang menurun, bahkan tak bisa berjalan, menambah jumlah orang-orang yang diberi istilah halus—dirumahkan—bertambah dari hari ke hari. Yang masih selamat pun, sulit tuk menghindar dari pemotongan gaji. Yang masih bergaji utuh pun, terpaksa dagdigdug mencari cara agar perusahaannya tetap bisa bertahan.

Sementara itu, ku dapati sebuah pemandangan yang baru ku sadari. Bahwa jika dicermati dengan kejernihan hati, maka kita sejatinya tak pernah kekurangan rezeki. Benar, ia mungkin hadir tak dalam bentuk yang sama dengan biasanya. Namun sejatinya ia justru lebih bernilai dan malahan sesuatu yang hakiki.

Mari kita tengok kesehatan. Protokol kesehatan yang banyak diterapkan, bersanding dengan mulai terbangunnya kebiasaan tuk olahraga atau makan sehat, sebenarnya adalah sebuah kemewahan yang baru terasa kini. Yang kerja di rumah, bisa tiap hari berolahraga. Yang kerja shift di kantor pun, karena jam kerja tak seperti biasa, jadi punya waktu tuk melakukan hal yang sama. Karena khawatir dengan kondisi makanan di luar, maka banyak orang browsing DIY resep makanan agar bisa masak sendiri di rumah. Selain biaya lebih hemat, juga lebih sehat. Ngopi tak mesti di kafe, sebab racikan sendiri dengan bahan dan kualitas yang sama pun, kini mungkin saja terjadi.

Beberapa kawan menceritakan bahwa waktu bercengkerama dengan keluarga pun bertambah. Tak hanya kualitas, tapi juga kuantitas. Khawatir jalan-jalan ke luar rumah, membuat keluarga perlahan-lahan menjadikan rumah itu sendiri lebih dari sekedar tempat numpang tidur. Melainkan bangunan cinta kasih dengan berbagai aktivitas yang menjadi warna di dalamnya. Sebagai kepala keluarga, aku pun merasa perlu lebih baik lagi memperbaiki diri. Sebab aku yang biasanya tak nampak 24 sehari. Kini, bangunku hingga tidurku menjadi teladan. Adakah ku gunakan waktuku dengan kesungguhan atau kesia-siaan. Pandanganku terhadap anggota keluargaku pun meluas dan mendalam. Sebab ku akhirnya lebih jeli melihat sisi-sisi yang amat layak ku apresiasi, yang selama ini terlewatkan.

Belum lagi soal keterampilan. Banyak orang mendapati dirinya, demi ‘membunuh’ kebosanan, mengisi waktu dengan melakukan hal-hal baru. Empat belas rak bukuku kini tertata lebih rapi. Dinding pun terhias lebih indah, yang kami kerjakan sendiri. Anak-anakku belajar membuat kue, yang bahkan telah mencapai level cukup advance, kue ulang tahun.

Betul, shalat berjamaah di masjid sempat terhenti. Namun di masa itu pula, hilanglah alasan tuk menjalankan shalat dengan terburu-buru, kualitas seadanya. Ya, shalat berjamaah kan tergantung kecepatan imam. Begitu shalat di rumah, maka kecepatan bisa kita atur sendiri. Yang seharusnya, lebih memungkinkan kita tuk menghayati lebih baik lagi.

Hampir 14 buku ku habiskan di awal kerja di rumah. Revisi buku yang sempat terhenti pun kini ku mulai lagi. Penguasaan teknologi yang sedikit demi sedikit bertambah. Jumlah vlog yang meningkat tajam, seiring juga jumlah subscriber. Ide-ide yang dulu terabaikan kini mulai diperhitungkan.

Ya, memang ada rezeki dari pintu yang biasa, dalam bentuk uang, kini tak sedang ada di tempatnya. Namun sungguh begitu banyak rezeki lain, yang sebenarnya lebih hakiki, seolah ditampakkan pada diri. Bukankah kita mencari uang untuk sehat? Untuk berbahagia bersama keluarga? Untuk bisa berkarya? Untuk bisa beristirahat? Jika itu kini bisa hadir, tanpa lewat perantara uang, bukankah selama ini ia pun tetap bernama rezeki, namun tak dianggap?

Maka mungkin benar sebuah ungkapan yang mengatakan, masa ini bukan masa new normal. Ini justru masa back to normal. Karena kehidupan seperti ini lah yang perlu kita jalani kembali. Ternyata tak mahal tuk bisa berbahagia. Ia ada di hadapan kita. Menunggu kita membuka mata.

Spread the love

1 thought on “Rezeki yang Tak Dianggap

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *